Herizal menjelaskan, La Nina adalah kondisi penyimpangan (anomali) suhu permukaan laut Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin daripada kondisi normalnya, dan diikuti oleh penguatan aliran angin pasat timur.
La Nina terjadi dalam skala waktu beberapa bulan hingga tahun, dan mempengaruhi cuaca/iklim global berupa kondisi lebih basah/kering, lebih hangat/dingin, dan dinamika cuaca lainnya yang berbeda di tiap wilayah di dunia.
“Sementara badai atau siklon tropis adalah fenomena ekstrim gangguan cuaca dalam skala ratusan kilometer yang memiliki dampak bersifat regional baik dampak langsung maupun tidak langsung, dan berlangsung dalam beberapa hari,” tuturnya.
Secara teoretis, topan atau siklon tropis umumnya hanya bisa berkembang dan menguat di wilayah tropis di luar 10 derajat lintang utara atau selatan. Sebab, pembentukan siklon secara fisis dapat terjadi bila memenuhi syarat anomali suhu muka laut yang lebih hangat dibandingkan dengan wilayah sekitarnya (umumnya di atas 28 derajat Celsius) dan adanya potensi pusaran yang besar karena pengaruh gaya korioli.
“Gaya korioli di wilayah Indonesia umumnya bernilai kecil karena dekat dengan garis ekuator, sehingga relatif lebih kecil peluang terjadinya Siklon Tropis di Indonesia,” ucapnya.
Herizal pun mengimbau masyarakat untuk tetap tenang terhadap berita-berita yang tidak benar terkait badai tropis yang dianggap sama dengan fenomena La Nina tersebut. Namun dia juga berharap masyarakat tetap waspada dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak La Nina, yaitu dengan ancaman banjir, banjir bandang, dan longsor akibat curah hujan ekstrem.