Pakar komunikasi digital tersebut menuturkan, langkah pengawasan penyiaran pada platform online sudah terlebih dulu dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Turki dan Singapura. Negara-negara ini beralasan kontrol tersebut sebagai upaya penegakan hukum, keamanan nasional, hingga moralitas.
"Media itu agen sosialisasi, entah media cetak atau media sosial, offline maupun online. Semua sama-sama dapat membentuk dan menggiring opini masyarakat. Fungsi pengawasan sebenarnya lebih ke arah untuk menjaga keamanan nasional, bukan sekedar sensor kepantasan pada konten dengan kategori dewasa yang berbau pornografi. Perlu segera dipastikan siapa yang akan mengawasi ke depan juga," kata dia
Anthony yang juga CEO Menara Digital Enterprise ini menjelaskan, bila perlu bisa dilakukan harmonisasi antara Netflix dan Youtube dengan televisi FTA dan kreator konten nasional seperti dilakukan di Australia. Pemerintah Negeri Kanguru meminta Netflix dan YouTube untuk menayangkan konten lokal dan meminta mereka bergabung dengan televisi bebas bayar.
"Dengan mengadopsi kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Australia akan tercipta keadilan dalam industri penyiaran (equal playing field). Prinsipnya perlu didefinisikan detail makna penyiran. Dan menurut saya penyiaran kepada masyarakat dalam bentuk apapun perlu diatur, diawasi, dan dikendalikan dengan regulasi yang sinkron," katanya.
Stasiun televisi RCTI dan iNews mengajukan uji materi atau judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan definisi Penyiaran pada UU Penyiaran. Keduanya mendorong agar perusahaan penyedia layanan streaming film dan video on demand (VoD) dilakukan pengawasan terhadap isi siaran mereka.
Tidak hanya kepada OTT asing tapi hal seperti itu berlaku juga pada OTT lokal/nasional. Pemohon menekankan, bila tanpa pengawasan, akan muncul konten-konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila lewat layanan perusahaan OTT tersebut.