JAKARTA, iNews.id - Tentara asing alias bule pernah menjadi anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus), pasukan elite TNI Angkatan Darat, bahkan menjadi komandannya. Pada masa awal kemerdekaan, kebutuhan akan pasukan khusus sangat mendesak. Ini karena situasi dan kondisi negara yang menghadapi berbagai pemberontakan.
Pasukan khusus ini ditujukan untuk dapat menanggulangi berbagai ancaman yang dapat memecah belah persatuan bangsa dan negara.
Misalnya saja pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) pada 25 April 1950 yang dipimpin Christian Robert Steven Soumokil, mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Tujuannya adalah melepaskan wilayah Maluku dari Republik Indonesia.
Namun, berkat kecekatan pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang menguasai wilayah Ambon, pemberontakan RMS berhasil ditumpas. Kemenangan ini dibayar dengan banyaknya pasukan yang gugur.
Berkaca pada beberapa pertempuran, sering kali musuh dengan kekuatan kecil berhasil menggagalkan serangan TNI yang memiliki kekuatan lebih besar. Setelah dikaji, hal ini bukan semata karena paukan musuh memiliki semangat juang tinggi dengan dukungan peralatan lengkap. Namun juga dipengaruhi kemampuan dalam hal taktik, menembak tepat, serta pengalaman tempur serta gerakan pasukan tersebut.
Hal ini yang kemudian membuat Letkol Slamet Riyadi menggagaskan pembentukan pasukan khusus yang memiliki kemampuan berperang di berbagai medan. Sayang, sebelum ide ini tercapai, Slamet Riyadi gugur. Akhirnya seorang mantan anggota Korps Speciale Troepen Koninklijike Nederlans Indische Leger (KNIL), Mochamad Idjon Djanbi, yang membantu merealisasikan ide tersebut.
Idjon Djanbi bukan penduduk pribumi. Bernama asli Rokus Bernardus Visser, dia lahir pada 13 Mei 1914 di Boskoop, Belanda dan sempat mengungsi ke Britania Raya. Kemudian dua dipilih menjadi sopir Ratu Wilhelmina sebelum bergabung dengan pasukan sekutu.
Setelah itu Idon Djanbi ditugaskan ke Indonesia untuk memukul mundur kekuatan Jepang bersama pasukan KNIL pada 1945.