Direktur HAFECS Zulfikar Alimuddin menyebutkan, pembelajaran dengan metode STEM bisa diawali dengan hal sederhana, yaitu guru merangkum pengalaman siswa, kemudian mengasah kemampuan berpikir siswa, hingga tercapai tujuan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan.
“Guru perlu membuat rancangan mengajar berbasis STEM yang terhubung dengan materi. Kita berangkat dari personal reality atau pengalaman kenyataan, cek persepsi siswa dengan bertanya terkait pengalaman hidupnya," tutur Zulfikar.
Karena, lanjut dia, manusia lebih mudah menjelaskan sesuatu jika dia melihat dan memegangnya sendiri. Lalu, siswa diminta untuk mendeskripsikan apa yang terjadi. Dalam prosesnya, harus ada dialog, sehingga terbangun kemampuan berpikir yang diinginkan.
Demikian pula menurut Poppy Kamalia Devi, STEM bukanlah metode baru dalam dunia pendidikan, namun tidak banyak guru atau pengajar yang menerapkan prosesnya hingga akhir. Adapun, proses yang dimaksud dimulai dari mengajak siswa bertanya, berimajinasi dan brainstorming, memilih solusi atas permasalahan, merancang hasil, sampai siswa berhasil memperbaiki hasil tugasnya.
“STEM adalah pendekatan yang memadukan konsep akademik dengan pembelajaran dunia nyata, siswa menerapkan science, technology, engineering, dan mathematics. Bukan satu pelajaran terpisah-pisah, tapi sudah tergabung dalam STEM, fokus pada pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari atau kehidupan profesional,” kata Poppy.
“Siswa mulai diajak berpikir, ada masalah apa, diajak berimajinasi, memilih solusi, setelah itu juga diajak merancang dan memperbaiki. Selama ini siswa hanya diberi tugas, tapi kalau dalam STEM, siswa diajak memperbaiki tugasnya juga. Biasanya banyak yang tidak melihat siswa ini berapa kali memperbaiki tugasnya, kalau dalam STEM, prosesnya itu yang dilihat,” ujarnya.