Menurutnya, pola sengketa pulau yang terjadi relatif serupa, seperti yang pernah terjadi antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Permasalahan sering kali muncul akibat perbedaan pencatatan titik koordinat, kekeliruan penamaan wilayah, atau tumpang tindih klaim berdasarkan bukti historis.
“Satu pihak sudah mendaftarkan titik koordinat, pihak lain belum. Atau kadang ada kesalahan koordinat dan penamaan, tapi disertai klaim historis. Ini membuat penyelesaiannya cukup panjang,” katanya.
Selama proses penyelesaian belum tuntas, kata Bima, wilayah pulau yang disengketakan tetap masuk dalam cakupan administratif provinsi tertentu hingga ada ketetapan hukum yang sah.