Kebijakan Tak Matang Bernama Larangan Cantrang

Wildan Catra Mulia
Ahmad Islamy Jamil
Belasan ribu masyarakat nelayan dari berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa di dekat Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Rabu (17/1/2018). Mereka menuntut pemerintah mencabut larangan penggunaan alat tangkap cantrang menyusul pemberlakuan Permen KP

JAKARTA, iNews.id – Matahari pagi baru saja menunjukkan wajahnya. Ribuan orang tampak berkumpul memadati halaman depan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2018). Massa yang mayoritas terdiri dari laki-laki itu berasal dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Tangerang, Banten; Rembang dan Tegal, Jawa Tengah, serta; Lamongan, Jawa Timur.

Mereka adalah para nelayan yang sengaja datang ke Ibu Kota untuk menuntut keadilan kepada pemerintah. Mereka ingin menyuarakan penolakan atas pemberlakuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No 2 Tahun 2015. Regulasi tersebut salah satunya mengatur soal pelarangan penggunaan cantrang sebagai alat tangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

Tepat pukul 07.00 WIB, massa mulai berjalan kaki menuju Monumen Nasional (Monas), tempat mereka mengadakan aksi unjuk rasa. Yel-yel bernada protes terhadap kebijakan pemerintah pun mengiringi perjalanan mereka menuju kawasan Ring 1 Jakarta itu.

Beberapa demonstran terlihat membawa spanduk bertuliskan, “Bebaskanlah kami menangkap ikan!” Ada pula yang mengusung alat peraga berisikan kalimat protes yang ditujukan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. “Cabut Permen No 2/2015 yang sudah menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia, Ibu Susi yang cantik!” demikian bunyi kalimat itu.

Kebijakan pelarangan cantrang oleh pemerintah membuat nelayan menjerit. Bagaimana tidak, mereka yang selama ini selalu memperoleh nafkah dengan cantrang, terpaksa tak bisa melaut lantaran alat tangkap ikan itu dianggap ilegal.

“Saya tak habis pikir, di mana letak salahnya cantrang. Padahal, alat ini sudah menjadi nafas kami. Sumber penghidupan kami,” ujar nelayan asal Rembang, Suyoto.

Menurut dia, alasan pemerintah melarang cantrang karena dinilai tidak ramah lingkungan, perlu dikoreksi. Sebab, alat tangkap ikan itu telah digunakan kalangan nelayan tradisional di Nusantara selama puluhan tahun. “Selama itu pula, tidak ada ekosistem laut yang dirusak oleh cantrang. Produksi ikan tetap berjalan normal,” ujar lelaki yang juga ketua Paguyuban Nelayan Rembang itu.

Salah seorang nelayan dari Kronjo, Banten, Tarwidi mengaku keberatan dengan adanya pelarangan cantrang. Alasannya, dia dan nelayan lain di kampung itu tidak punya kemampuan untuk beralih alat tangkap ikan dari cantrang ke jaring. “Untuk peralihan (alat tangkap) itu dibutuhkan biaya yang besar, sampai Rp1 miliar (per kapal),” ungkapnya.

Dampak dari pelarangan cantrang juga dirasakan Semin (40 tahun). Lelaki yang kesehariannya bekerja sebagai kuli angkut di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasikagung, Rembang, itu mengaku sudah menganggur selama tiga pekan belakangan. Sejak awal Januari kata dia, volume ikan yang masuk ke TPI Tasikagung menurun drastis.

“Sekarang benar-benar sepi, Mas. Karena udah enggak ada lagi yang bisa saya angkut, akhirnya ya nganggur,” tuturnya.

Dia mengungkapkan, mayoritas nelayan yang memasok ikan ke Rembang adalah nelayan cantrang. Karenanya, begitu larangan penggunaan cantrang diberlakukan, otomatis hasil laut yang masuk ke daerah itu menjadi jauh berkurang, Sebagai imbasnya, kuli-kuli angkut seperti Semin pun menjadi kehilangan mata pencarian.

Biasanya, Semin memperoleh upah antara Rp70.000 – Rp100.000 per hari dari pekerjaan bongkar muat ikan di TPI Tasikagung. Jika ditotal, penghasilan kotor selama sebulan bisa mencapai Rp3 juta. “Jumlah segitu sebenarnya udah lumayan buat saya. Karena UMK (upah minimum kabupaten) di Rembang  sendiri enggak sampai Rp1,5 juta per bulan untuk tahun ini,” katanya.

Semin mengatakan, ada enam orang yang saat ini menjadi tanggungannya di rumah. Mereka adalah istri, anak, kedua mertua, dan kedua orang tuanya. Sejak kehilangan pekerjaan, pria berkulit sawo matang itu tidak tahu harus mengadu kepada siapa. “Saya berharap, Ibu Susi (Menteri KP Susi Pudjiastuti) mau mencabut larangan (cantrang) itu. Kami ini cuma mau cari makan,” ujarnya.

Aksi demonstrasi ribuan nelayan Pantura menuntut pencabutan larangan penggunaan cantrang akhirnya membuahkan hasil. Sore tadi, Menteri KP Susi Pudjiastuti memutuskan untuk mengizinkan kembali penggunaan cantrang, trawl, dan alat tangkap lainnya.

Selain itu, Susi juga meminta agar nelayan tak menambah kapal milik mereka. Susi menegaskan, hanya kapal cantrang yang sudah terdaftar boleh melaut menggunakan cantrang. “Tidak boleh ada kapal tambahan lagi. Saya tidak mau ada kapal cantrang ilegal yang tidak punya ukuran,” kata Susi di hadapan massa nelayan yang berunjuk rasa di Monas.

Regulasi belum akomodasi kebutuhan nelayan

Informasi yang dihimpun Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengungkap, 90 persen konsumsi ikan di Indonesia disumbang oleh hasil tangkapan nelayan tradisional. “Dengan begitu, nelayan tradisional yang merupakan satu entitas dari masyarakat pesisir boleh disebut ‘pahlawan protein’ bagi bangsa ini,” ujar Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati.

Dia menuturkan, agar dapat terus berproduksi dan berkontribusi, nelayan tradisional jelas membutuhkan peralatan memadai untuk menangkap ikan. Namun, dalam menafsirkan frasa “peralatan memadai” tersebut, terdapat perbedaan pemahaman di kalangan masyarakat pesisir.

Bagi nelayan yang hidup di kawasan perairan yang masih bagus, terjaga, dan memiliki sumber daya ikan melimpah, biasanya tidak butuh banyak waktu buat melaut. Mereka juga tidak perlu pergi terlalu jauh untuk mencari. Dalam waktu relatif singkat, mereka mampu memperoleh hasil tangkapan yang banyak menggunakan peralatan yang sesuai dengan kondisi mereka.

Biasanya, kata Susan, nelayan yang masuk dalam kelompok ini akan melindungi kawasan tangkap mereka karena memiliki kesadaran yang cukup baik akan keterkaitan antara keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan ekologi. Kelompok nelayan seperti ini salah satunya dapat dijumpai di desa pesisir Perbaungan Serdang Bedagai, Sumatra Utara.

Namun, akan berbeda halnya dengan nelayan yang tinggal di kawasan perairan yang sudah rusak dengan sumber daya ikan yang terbatas. Mereka tidak punya pilihan selain secara bersama-sama atau sendiri-sendiri menggunakan alat tangkap yang dianggap dapat menangguk ikan dalam jumlah banyak. Kelompok nelayan ini biasanya juga pergi keluar dari wilayah tangkapan mereka untuk mencari ikan.

Susan mengatakan, kelompok nelayan yang kedua ini terpaksa melaut lebih jauh karena perairan tangkap mereka sudah telanjur rusak oleh berbagai faktor. Mulai dari hancurnya biota laut karena dijadikan tempat pembuangan limbah, hingga rusaknya ekosistem bahari akibat proyek reklamasi, proyek pembangunan infrastruktur, serta pertambangan pasir.
 
“Perairan di utara Pulau Jawa adalah kawasan yang mengalami hal ini. Nelayan di kawasan tersebut menggunakan alat tangkap yang memang sengaja dirancang untuk mendapatkan hasil laut melimpah dalam waktu tidak lama. Salah satunya adalah cantrang,” ucap Susan. Menurut dia, kelompok nelayan yang kedua ini tidak bisa dipersalahkan. Sebab, situasi dan kondisi yang mereka hadapi jelas berbeda dengan kelompok nelayan pertama.

Susan berpendapat, regulasi pemerintah terkait alat tangkap seyogianya didasari komitmen untuk mengatur pengelolaan kelautan dan perikanan berkelanjutan. Sayangnya, implementasi kebijakan itu belum mengakomodasi kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda. Akibatnya, jika kebijakan tersebut tetap dipaksakan, akan ada beberapa dampak yang muncul.

Yang pertama adalah penurunan produksi perikanan pada nelayan. Ketika larangan diterapkan, nelayan pengguna cantrang sudah barang tentu bakal berhenti beroperasi. Padahal, di sisi lain, mereka belum memperoleh pengganti alat tangkap, sehingga tidak dapat melaut.

Sejak keluarnya Permen KP No 2/2015, kata Susan, pemerintah sempat memberlakukan masa transisi peralihan dari cantrang ke alat tangkap ikan yang dilegalkan hingga akhir 2017. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun pernah berjanji akan mengalokasikan bantuan penggantian cantrang bagi kapal-kapal nelayan berukuran di bawah 10 GT (gross tonnage/tonase kotor).

Akan tetapi, program tersebut ternyata tidak direalisasikan dengan baik oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Jawa Barat, ada sekitar 1.300 kapal cantrang yang ditargetkan menerima bantuan penggantian alat tangkap ikan dari KKP. Namun, setelah berlalunya dua tahun masa transisi, yang mendapat bantuan itu hanya 360 kapal.

Kedua, ketika perahu-perahu cantrang berhenti beroperasi, yang terjadi kemudian adalah pengangguran dan pemiskinan nelayan. Menurut data yang dihimpun Kiara dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP, jumlah pengguna cantrang di Indonesia saat ini mencapai 5.776 kapal. Perinciannya, sebanyak 3.198 di antaranya adalah kapal berukuran di bawah 10 GT, sedangkan yang 2.578 lagi adalah kapal berukuran 10 – 30 GT.

“Jika satu kapal cantrang rata-rata mempekerjakan 20 ABK (anak buah kapal), bayangkan berapa banyak nelayan yang kehilangan pekerjaannya akibat kebijakan (Permen KP) itu,” tutur Susan.  

Sementara yang ketiga, jika ada yang tetap nekat menggunakan cantrang setelah berlakunya Permen KP No 2/2015, mereka akan berurusan dengan hukum. Pada poin ini, yang akan muncul adalah kriminalisasi terhadap nelayan.

Editor : Ahmad Islamy Jamil
Artikel Terkait
Makro
4 tahun lalu

KKP Pastikan akan Tindak Tegas Kapal Cantrang

Seleb
5 tahun lalu

Berenang Bareng Lumba-lumba, Lucinta Luna Dikecam Mantan Menteri sampai Artis

Nasional
6 tahun lalu

Lantik Agus Suherman sebagai Dirjen PDSPKP, Ini Pesan Menteri Susi

Makro
6 tahun lalu

Menteri Susi: Anambas Harus Jadi Pionir Utama Industri Perikanan dan Pariwisata

Nasional
7 tahun lalu

Panglima TNI dan Menteri Susi Sepakat Perkuat Keamanan Sektor Maritim

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal