Pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional, lanjut dia dilakukan melalui undang-undang jika berkenaan dengan sejumlah hal, yaitu masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman dan atau hibah luar negeri.
"Sedangkan pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional melalui Keppres, dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat, tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional," ucapnya.
Dia menjelaskan, jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini di antaranya perjanjian induk yang menyangkut kerja sama bidang Ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda dan kerja sama perlindungan penanaman modal serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.
"Jadi dimana letak kedaulatan hukum negara Indonesia yang sudah menandatangani banyak perjanjian internasional yang patut diduga berlatar kebutuhan masyarakat internasional? Seperi WTO, GATT, Free Trade ASEAN, IJEPA dengan Jepang dan masih banyak lainnya," ucapnya.
Padahal di satu sisi, kata dia kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional.
"Di sinilah tantangan kepada para sarjana hukum dan politisi di parlemen sebagai law maker. Kita dituntut untuk berpikir dan bekerja guna menyempurnaan saat dua konsep itu dipertemukan, yaitu muatan perjanjian internasional dengan norma konstitusi Indonesia yang seharusnya berpihak kepada rakyat," katanya.