Saya membayangkan, kerja panitia kurban yang lebih komprehensif, bukan sekadar menyembelih dan membagikan daging, tetapi juga mengidentifikasi apa saja sesungguhnya kebutuhan kelompok miskin di wilayah kerjanya, lalu memikirkan cara-cara menyelesaikan permasalahan mereka. Jika di masa lalu sore dan malam Hari Raya Idul Adha kerap ditandai dengan orang-orang membakar sate di banyak tempat, sangat boleh jadi tanda seperti itu akan berkurang, dan masyarakat yang terpinggirkan itu bisa lebih banyak yang tertolong.
Tak kalah penting, kolaborasi Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang bertindak sebagai penyedia hewan kurban, mesti dijalin lebih komprehensif. Alih-alih bersaing satu sama lain menghimpun donatur/pekurban, mereka mestinya melakukan pemetaan kantung-kantung peternak kecil dan mustahik, dan saling berbagi tugas dan wilayah kerja. Ini akan menjadi bagian dari komitmen mengurus mereka yang terpinggirkan, tidak sekadar pada ritual Idul Adha saja.
Itulah pengejawantahan makna Idul Adha sebagai penguatan solidaritas sosial, yang pada gilirannya akan mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. Langkah-langkah itu akan memastikan para mustahik bergeser menjadi muzakki, sekaligus membuktikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.