Sandi menjelaskan, turunnya kurs rupiah yang berkepanjangan dipicu lemahnya fundamental ekonomi Indonesia seperti defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan (current account deficit). Selain itu, pertumbuhan sektor manufaktur di bawah pertumbuhan ekonomi.
"Sektor manufacturing yang pernah mencapai hampir 30 persen PDB pada 1997 sekarang tinggal 19 persen PDB. Hal ini tentu mengganggu ketersediaan lapangan kerja dan ekspor kita," kata Sandi.
Lemahnya fundamental ekonomi tersebut tidak terlepas karena kekeliruan dalam orientasi dan strategi pembangunan ekonomi. Pemerintah, misalnya, tidak berhasil mendayagunakan kekuatan ekonomi rakyat.
”Sehingga kebutuhan pangan semakin tergantung pada impor seperti beras, gula, garam, bawang putih, dan lain-lain,” ujar mantan wagub DKI Jakarta ini.
Merespons situasi ekonomi ini, koalisi Prabowo-Sandi mendesak pemerintah waspada dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi keadaan.
Koalisi Prabowo-Sandi, ujar dia, menyarankan pemerintah agar mendayagunakan ekonomi nasional demi mengurangi impor pangan dan impor barang konsumsi yang tidak urgen, bersifat pemborosan, dan barang mewah yang ikut mendorong kenaikan harga-harga bahan pokok.
"Mengurangi secara signifikan pengeluaran-pengeluaran APBN dan APBD yang bersifat konsumtif, seremonial, dan yang tidak mendorong penciptaan lapangan kerja," ujarnya.