"Tetapi seperti kita tahu, setelah amandemen, kedaulatan rakyat diserahkan melalui pemilihan langsung di dua kutub, yakni di parlemen kepada partai politik dan perorangan peserta pemilu, yaitu anggota DPD RI, lalu kepada pasangan presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung," kata LaNyalla.
Dengan demikian, DPR RI, DPD RI dan Presiden menjadi sejajar. Tetapi ironisnya, kewenangan DPD RI menjadi sangat terbatas, bila dibandingkan dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan di masa lalu. Di mana mereka memiliki kewenangan untuk mengusung dan memilih calon presiden di forum MPR.
"Saat ini, partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih," ujar LaNyalla.
Dia mengatakan, kekuasaan yang begitu besar yang dimiliki partai politik, seolah menjadikan partai politik melalui fraksi di DPR RI, adalah satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini.
"Dengan kekuasaan itu, salah satunya adalah inisiatif DPR untuk membentuk Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden.
Dari sinilah persoalan bangsa ini semakin kompleks, karena Presidential Threshold memiliki tiga persoalan mendasar," tegas LaNyala. Karena, lanjut dia, terbukti ambang batas tersebut lebih banyak mudaratnya, ketimbang manfaatnya bagi bangsa dan negara.
Selain membatasi calon-calon pemimpin bangsa, juga tidak derivatif dari konstitusi. Dan lebih parah, terbukti membelah masyarakat dan tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.