JAKARTA, iNews.id - Sesar Baribis adalah sebuah istilah yang belakangan ini kembali menjadi perbincangan, terutama setelah masyarakat merasakan guncangan gempa di wilayah Bekasi. Fenomena ini menjadi pengingat nyata bahwa wilayah dengan populasi terpadat di Indonesia, termasuk Jakarta dan sekitarnya, berada di atas zona patahan aktif yang berpotensi menghasilkan gempa.
Gempa dengan magnitudo 4,9 yang mengguncang Bekasi beberapa waktu lalu menjadi pengingat nyata akan bahaya yang mengintai di bawah tanah. Meskipun tidak memicu kerusakan masif, guncangan tersebut menyebabkan kepanikan warga dan merusak beberapa rumah di enam kecamatan.
Menurut para peneliti, guncangan ini diduga bersumber dari aktivitas salah satu segmen West Java Back-arc Thrust, yaitu segmen Citarum, yang membentang sepanjang 41 kilometer. Peristiwa ini membuktikan bahwa meskipun aktivitas patahan di wilayah ini relatif lambat, energi yang terakumulasi dapat dilepaskan sewaktu-waktu dan berdampak langsung pada area padat penduduk yang rentan.
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Sonny Aribowo, menjelaskan bahwa West Java Back-arc Thrust adalah nama yang lebih tepat untuk menyebut patahan aktif yang membentang di sisi utara Pulau Jawa bagian barat. Patahan ini menjalar dari Kuningan ke timur, melewati Cirebon, Majalengka, Subang, hingga terpecah menjadi beberapa segmen saat memasuki wilayah Karawang, Bekasi, dan Bogor.
Penyebutan back-arc merujuk pada posisinya yang berada "di belakang" busur vulkanik atau rangkaian gunung api di Jawa Barat jika dilihat dari sisi selatan. Sonny menegaskan bahwa sistem patahan ini tidaklah tersambung, melainkan terbagi menjadi beberapa segmen.
"Back-arc itu artinya di belakang gunung api dan itu dominan patahan naik," ujar Sonny.
Salah satu segmen dari sistem patahan besar ini adalah Sesar Baribis. Artinya, Sesar Baribis bukanlah nama untuk keseluruhan patahan, melainkan hanya salah satu bagiannya, yang lebih spesifik berada di sisi timur. Hal ini sesuai dengan penjelasan Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono.
"Dulu dikenal Sesar Baribis, namun ternyata itu salah satu segmen dari West Java Back-arc Thrust," kata Daryono.
Alasan utama mengapa West Java Back-arc Thrust, termasuk segmen Citarum, menjadi perhatian serius adalah lokasinya yang berada di bawah wilayah terpadat di Indonesia. Patahan ini melintasi kota-kota vital seperti Jakarta, Depok, Bekasi, dan Karawang.
Gempa yang dihasilkan oleh sesar dangkal, seperti patahan naik ini, dapat menyebabkan guncangan yang sangat kuat, bahkan dengan magnitudo yang relatif kecil. Getaran dari gempa dangkal terasa jauh lebih merusak karena energi yang dilepaskan lebih dekat ke permukaan.
Selain itu, wilayah yang dilaluinya sebagian besar dibangun di atas tanah aluvial atau tanah lunak. Jenis tanah ini sangat rentan terhadap fenomena likuifaksi (pencairan tanah) dan amplifikasi gelombang gempa, yang dapat memperkuat guncangan dan menyebabkan kerusakan yang jauh lebih parah pada bangunan di atasnya.
Para peneliti, termasuk Sonny Aribowo, telah menerbitkan penelitian yang menunjukkan bahwa aktivitas West Java Back-arc Thrust sudah berlangsung sejak era Pleistosen akhir, sekitar 2,58 juta tahun lalu.
Meskipun tidak ada catatan gempa besar dalam sejarah modern, bukti geologis mengindikasikan bahwa sesar ini aktif dan terus menumpuk energi akibat "interaksi" antara Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke atas dan Lempeng Eurasia yang relatif diam.
"Ibarat kue lapis, [saat] ditekan, ada lipatan," kata Sonny, menjelaskan mekanisme patahan yang bersifat naik.
Penelitian menunjukkan bahwa patahan ini memiliki potensi untuk menghasilkan gempa hingga Magnitudo 6,5. Jika skenario ini terjadi, dampaknya akan sangat besar dan meluas, mengancam infrastruktur penting dan keselamatan jutaan penduduk yang tinggal di area tersebut.