Sejak kecil, ia mendapat didikan ayahnya dalam ilmu bela diri, berkuda, dan tata cara bernegara. Untuk memperdalam agama, ia menuntut ilmu ke Bonjol lalu Rao, belajar kepada para ulama berpaham Paderi. Dari mereka, ia memperoleh gelar fakih dan terpikat pada ajaran pemurnian Islam, yang kemudian ia sebarkan di tanah kelahirannya. Dakwahnya cepat diterima masyarakat, menguatkan tekadnya menyebarkan Islam hingga ke wilayah Batak, yang saat itu masih banyak menganut pelbegu.
Tuanku Tambusai memulai perjuangan di Rokan Hulu dengan pusat pertahanan di Benteng Dalu-dalu. Tahun 1823 ia bergerak ke wilayah Natal, lalu memimpin pasukan gabungan dari berbagai daerah—Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal—untuk menghadang Belanda pada 1824. Selain sempat menunaikan haji, ia juga diminta Tuanku Imam Bonjol mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Selama sekitar 15 tahun, perlawanan yang dipimpinnya membuat Belanda kerepotan hingga harus meminta bantuan pasukan dari Batavia. Kecerdikannya terbukti ketika ia berhasil menghancurkan Benteng Belanda Fort Amerongen dan merebut kembali Bonjol, meski tidak bertahan lama.
Musuh yang dihadapinya bukan hanya Belanda, tetapi juga pasukan Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo yang berpihak pada kolonial. Karena ketangguhannya yang sulit ditundukkan, Belanda menjulukinya “De Padrische Tijger van Rokan” atau Harimau Paderi dari Rokan.
Meski Kolonel Elout menawarkan perdamaian, Tuanku Tambusai menolak. Pada 28 Desember 1838, Benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat jalan rahasia, ia meloloskan diri, mengungsi, dan menetap di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia, hingga wafat pada 12 November 1882.
Atas jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia-Belanda, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 7 Agustus 1995 melalui Keputusan Presiden No. 71/TK/1995.