Beberapa ulama itu berasal dari Nusantara seperti Syekh Mahfudz Termas dan Syekh Khatib Minangkabau. Selain itu, KH Hasyim juga belajar dari ulama wilayah lain seperti Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, dan Sayyid Sulthan Hasyim Ad-Daghistani.
Sepulang ke Indonesia, KH Hasyim mendirikan pondok pesantren di Tebuireng, Jombang. Santrinya kian hari kian bertambah.
Tak hanya di dunia pendidikan, dia juga aktif dalam upaya mewujudkan kemerdekaan. Dia pun menjadi sosok ulama yang dihormati di masanya.
Kehebatan KH Hasyim pun membuat banyak masyarakat dan tokoh sowan kepadanya untuk meminta petunjuk mengenai kehidupan. Sebab, KH Hasyim dianggap sebagai tokoh yang mafhum persoalan agama hingga politik kebangsaan.
Sebagaimana catatan harian tokoh Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) Maruto Nitimihardjo, pengaruh KH Hasyim sempat menarik perhatian Jepang. Saat itu, Jepang berniat menawarkan jabatan presiden kepada KH Hasyim.
Dalam buku Hadratussyaikh, Komitmen Keumatan dan Kebangsaan (2010) karya Zuhairi Misrawi, KH Salahuddin Wahid atau Gus Salah menceritakan ketertarikan Jepang itu atas kisah kawannya, Hadijoyo Nitimihardjo yang tak lain merupakan putra Maruto Nitimihardjo.
Maruto, kata putranya, pernah diutus pemerintah militer Jepang bertemu KH Hasyim. Sang kiai saat itu ditawarkan menjadi presiden yang langsung ditolak. dengan alasan tugasnya mendidik santri di pesantren.
Gus Salah sejatinya telah mengetahui jawaban KH Hasyim. Hanya saja, Jepang disebut ingin mengetahui dukungan KH Hasyim terhadap figur yang hendak diusung sebagai presiden.
KH Hasyim pun menjawab tokoh yang paling cocok menjadi presiden yakni Ir Soekarno atau Bung Karno beserta M Hatta atau Bung Hatta sebagai wakilnya. Jawaban itu berdasarkan pandangan putranya, KH Abdul Wachid Hasyim.