Situasi semakin kompleks dengan maraknya temuan beras oplosan. Menurut Khudori, hal ini menciptakan ketidakpastian usaha, terlebih setelah Satgas Pangan intens masuk ke pasar.
Khudori menyebut banyak pelaku penggilingan dan pedagang dilema untuk menyalurkan stok. Sebab, di satu sisi mereka tidak bisa menjual beras dengan harga yang sesuai HET, namun di sisi lain akan disanksi jika tidak melepas stok.
"Penggilingan menahan stok karena ketika memproduksi beras dengan harga gabah Rp7.500 - Rp8.000 nggak mungkin menjual sesuai HET. Kalau menjual di atas HET dipersoalkan," ujar Khudori.
"Problemnya adalah kalau dua hari nggak disalurkan, dikenakan pasal penimbunan. Dilema kan. Nggak ada pilihan harus disalurkan meskipun rugi. Jadi buat penggilingan, buat pedagang itu sangat sulit," imbuhnya.
Khudori pun menyebut bahwa jika Satgas Pangan terlalu dalam masuk ke pasar, ditambah kebijakan pemerintah yang regresif, HPP naik, dan HET tidak disesuaikan, maka akan menekan margin keuntungan para pedagang.
"Ini buat mereka akan tidak ada insentif untuk melakukan stok. Ini berbahaya," ungkap Khudori.