JAKARTA, iNews.id - Indonesia dinilai seharusnya belajar pada dua pemilu ke belakang dalam menerapkan tingginya angka ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Pilpres 2014 dan 2019 menyebabkan masyarakat terbelah menjadi dua.
Ketua DPP Partai Perindo Bidang Politik dan Kebijakan Publik Heri Budianto mengatakan, tingginya presidential threshold menyebabkan keterbatasan calon pemimpin. Kondisi ini, kata dia menimbulkan polarisasi diserta gesekan politik di akar rumput.
"Menurut hemat saya, kita harus belajar dari dua peristiwa pemilu pada 2014 dan 2019, di mana polarisasi itu terjadi. Sehingga fakta-fakta politik yang terkait tingginya gesekan di masyarakat atau di tingkat pemilih karena adanya dua calon pasangan ini tentu menjadi pelajaran untuk kita," ujar Heri di Jakarta, Selasa (16/11/2021).
Dia menuturkan, jika presidential threshold diturunkan, secara tidak langsung akan membuka ruang munculnya calon pemimpin nasional. Presidential threshold, lanjut dia menjadi tidak penting jika tujuannya mencari pemimpin yang terbaik bagi Indonesia.
"Kalau spirit kita mencari calon terbaik pemimpin nasional dalam hal ini presiden dan wakil presiden tentu presidensial threshold menjadi tak penting karena semua orang yang memiliki potensi atau tokoh-tokoh yang memiliki potensi itu bisa dicalonkan oleh partai politik," tuturnya.