Pada 2015, telah ditetapkan 6 trayek yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor AL.108/6/2/DJPL-15 tentang Jaringan Trayek Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang Dalam Rangka Pelaksanaan Tol Laut Tahun Anggaran 2015.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengungkapkan, program tol laut dari waktu ke waktu menunjukkan tren peningkatan muatan. Tahun 2021 total muatan mencapai 23.880 TEUs, dan tahun 2022 total muatan yang diangkut pada tol laut mencapai 28.991 twenty foot equivalent unit (TEUs).
Pada tahun 2023, jumlah muatan juga mengalami peningkatan yang signifikan. Program tol laut ini menghubungkan 115 pelabuhan di seluruh Indonesia, melayani sebanyak 39 trayek, dan menggunakan 38 kapal.
Sementara, pada Tahun Anggaran 2024, Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut terus berupaya meningkatkan pelaksanaan Program Tol Laut guna mendorong dan mengefektifkan kembali konektivitas dan menekan disparitas harga di wilayah timur Indonesia serta meningkatkan perkembangan wilayah tertinggal, terluar, terdepan, dan perbatasan (3TP) menjadi wilayah yang memiliki aksesibilitas untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
Diharapkan kebutuhan barang pokok dan penting khususnya pada wilayah Maluku Utara, dapat terpenuhi dan tersedia di pasaran daerah tersebut dengan mudah, serta menjadi semangat baru untuk mendorong adanya pertumbuhan ekonomi pada wilayah setempat, dan diharapkan Pemerintah Daerah setempat dapat berkolaborasi dan bersinergi sehingga tujuan untuk mendistribusikan barang-barang kebutuhan pokok dan penting dapat tersedia dengan mudah dan dengan harga yang sewajarnya tercapai.
Hal ini seperti amanah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Di Laut atau dikenal dengan tol laut, dilaksanakan untuk menjamin tersedianya angkutan barang di laut dengan trayek tetap dan teratur serta terjadwal, menjamin ketersediaan barang pokok dan penting khususnya diwilayah T3P dan untuk mempengaruhi harga pasar guna mengurangi disparitas harga.
Ketua Umum Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI), Aulia Febrial Fatwa mengatakan, swasta mulai memainkan peran penting dalam bisnis pelabuhan sejak pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008.
Salah satu poin utama dalam beleid itu mengatur soal penghapusan monopoli penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator, serta memberikan peran bagi pemerintah daerah dan swasta untuk menyelenggarakan usaha kepelabuhanan. Sekalipun sudah ada dasar hukumnya, industri ini kala itu belum optimal. Febri mengaku, bisnis di sektor tersebut kian masif justru selama 10 tahun belakangan, lantaran kesadaran bila pelabuhan merupakan sektor penting untuk membuat negara ini bergerak dan maju.
“Selama 10 tahun ini ya karena memang sudah mulai disadari bahwa sektor pelabuhan itu merupakan sektor yang penting untuk bisa membuat negara ini bergerak dan berkembang, karena kita negara kepulauan,” ujar Febri kepada MNC Portal.
“Dan kita tahu bahwa pemerintah punya keterbatasan dalam membangun infrastruktur, khususnya infrastruktur pelabuhan, sehingga dibuka lah buat swasta, semenjak ada UU 17 tahun 2009, itu swasta sudah bisa masuk ke dalam sektor infrastruktur kepelabuhan, jadi enggak bicara 10 tahun ini,” paparnya.
Berdasarkan catatan ABUPI, Presiden Jokowi berhasil membangun 124 pelabuhan yang sumber pendanaannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Angka ini cukup representatif karena Nusantara ini terdiri dari 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
“Nah, kalau tidak salah selama 10 tahun ini menurut data yang ada kurang lebih itu sekitar 124 pelabuhan yang sudah dibangun, tetapi memang 124 pelabuhan itu pelabuhan yang dibangum oleh pemerintah, yaitu Kementerian Perhubungan menggunakan APBN,” ujarnya.
Selain negara, lanjut Febri, dalam kurun waktu 10 tahun pemerintah aktif melibatkan swasta untuk menggenjor ekosietem transportasi laut. Selama periode itu, banyak bermunculan terminal umum yang dikelola oleh badan usaha pelabuhan. Seperti terminal khusus (Tersus) dan terminal untuk kepentingan Sendiri (TUKS).
Selain itu, kontribusi yang ditempuh swasta melalui skema Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Hal ini tidak hanya menggaet pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah (pemda) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Di luar pelabuhan-pelabuhan yang dibangun oleh pemerintah itu, dalam 10 tahun terakhir ini bermunculan yang namanya terminal umum yang dikelola oleh badan usaha pelabuhan ataupun terminal-terminal yang sifatnya untuk kepentingan sendiri (industri milik swasta),” ujarnya.
“Misalnya Tersus batu bara dipakai oleh pertambangan batu bara untuk melakukan pergerakkan baru baranya, kemudian ada TUKS untuk kelapa sawit, Tersus untuk nikel dan segala macamnya, itu semua adalah banyak bermain adalah sektor swasta kan begitu, mereka yang membangun, mereka yang mengoperasikan untuk melakukan kegiatan kepentingan mereka sendiri, tidak dikomersilkan,” jelasnya.
Senada dengan Program Tol Laut Jokowi, Febri menegaskan pelabuhan sebagai instrumen penting menghubungkan wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Adapun, konsep dasar Tol Laut Jokowi merujuk pada pengangkutan logistik kelautan. Program ini bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan besar di Nusantara. Dengan konektivitas laut ini, maka diciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok negeri.
“Memang betul kita punya banyak moda transportasi, ada laut, darat, udara, kereta api, tapi yang namanya negara kepulauan maka seharusnya transportasi laut itu menjadi backbone utama, karena kita tersebar di 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke,” katanya.
“Nah, kalau kita bicara transportasi laut berarti kapal moda transportasinya, baik itu kapal penumpang, kapal kargo, maupun petikemas, ya mau gak mau bagaimana kapal itu bisa beroperasi, menghubungkan satu titik ke titik yang lain, ya konektivitasnya berarti harus ada pelabuhan,” lanjut dia.