MASYARAKAT Jakarta dan sekitarnya tentu sudah tak asing lagi dengan warung tegal alias warteg. Rumah makan yang satu ini memang mudah sekali dijumpai di berbagai sudut Ibu Kota. Selain harga yang merakyat, beragamnya menu yang disuguhkan menjadi alasan sebagian orang lebih memilih mengunjungi warteg di kala lapar.
Menurut catatan Koperasi Warung Tegal (Kowarteg), saat ini terdapat sedikitnya 26.000 warteg di seluruh wilayah Jakarta. Jika ditambah lagi dengan warteg yang tersebar di daerah-daerah satelit seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), jumlahnya menembus 34.000 buah. Angka itu diperkirakan akan terus bertambah di masa mendatang.
Kejayaan usaha warteg saat ini sejatinya tidak terjadi begitu saja. Ada proses cukup panjang yang dilalui para pemilik rumah makan tersebut, hingga bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan bisnis kuliner di kota besar macam Jakarta. Seperti diungkapkan Mutinah kepada iNews, belum lama ini. Pengusaha warteg di kawasan Pulo Mas, Jakarta Timur itu mengaku bisnis yang dia geluti saat ini didirikan pertama kali oleh orang tuanya, Djaeni, empat dasawarsa silam.
“Warteg ini dirintis sejak 1977 – 1978, dari zaman ibu saya dulu. Pada 1984, sudah mulai ada customer (pelanggan),” ujar Mutinah.
Di masa selanjutnya, usaha warteg yang dijalankan sang ibu terus berkembang. Dalam tempo beberapa tahun, rumah makan itu mulai dikenal orang-orang dengan sebutan “Warteg Ma’ Djen” (diambil dari nama Djaeni—red). Belakangan, warung itu dinamai “Warteg 21” karena letaknya bersebelahan dengan SMAN 21 Jakarta.
Untuk menjaga kelangsungan usaha, kata Mutinah, pemilik warteg tidak berdiri sendiri. Tetapi juga menjalin kerja sama dengan para pemasok beras, sayur, ikan, dan bahan-bahan baku pangan lainnya. Hubungan kerja sama semacam itu bahkan sudah terbangun secara turun-temurun.
“Sejak warteg ini masih dikelola ibu (Djaeni), kami sudah temenan (berteman) dengan para pemasok. Segala kebutuhan dapur kami diantar ke mari setiap pagi oleh mereka. Sekarang, (yang memasok bahan-bahan makanan itu) turun ke anaknya, dan (pengelolaan warteg ini) turun ke saya,” tuturnya.
Mutinah mengatakan, pemasok bahan makanan yang menjadi rekanan Warteg 21 kebanyakan justru bukan orang Tegal. Mereka punya latar belakang budaya cukup beragam. “Tukang (penyuplai) tahu orang Sunda, tukang tempe orang Jawa, yang masok ikan orang Madura, dan yang nyuplai daging ayam orang Betawi,” ucapnya.
Beberapa warteg di Jakarta ada yang beroperasi 24 jam. Namun, warteg milik Mutinah hanya buka dari pukul 07.00 – 21.00 WIB. Di warung itu, makanan dibanderol Rp15.000 – Rp25.000 per porsi. Dengan kisaran harga tersebut, omzet rata-rata yang dia peroleh bisa mencapai Rp10 juta per hari alias Rp300 juta per bulan.
“Paling tidak, warung ini menghabiskan 1 kuintal beras sehari. Kalau lagi rame bisa 1,5 kuintal sehari,” ungkapnya.
Lantas, tidak sedikit orang bertanya mengapa harga makanan di warteg bisa murah meriah? Mutinah pun menjelaskan, dalam menjalankan bisnis, prinsip yang dipakai para pemilik warteg bukanlah mencari untung sebesar-besarnya. Melainkan berusaha sedapat mungkin menjaga arus pemasukan dari kegiatan jual beli tetap stabil. Tentu saja kepuasan konsumen menjadi hal terpenting di sini.
“Buat kami, biar untungnya kecil, yang penting lancar,” kata perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah itu.
Di warteg yang dia kelola, Mutinah kini mempekerjakan 10 karyawan. Lima di antaranya kebagian tugas memasak di dapur, sedangkan lima lainnya bekerja sebagai pramusaji di warung. Setiap karyawan menerima upah bersih Rp50.000 per hari atau Rp1,5 juta per bulan. Di luar itu, mereka juga mendapat jatah makan tiga kali sehari.
Selama 40 tahun menjajal bisnis makanan, Warteg 21 sudah berulang kali mengalami pergantian pegawai. Bahkan, dari sekian banyak bekas karyawan Mutinah, di antaranya ada pula yang sukses membuka usaha serupa di tempat lain. “Ada lima orang mantan karyawan saya bikin usaha warteg sendiri. Sekarang, mereka udah jadi bos semua. Alhamdulillah,” tutur ibu empat anak itu.
Secuil cerita dari “Kampung Warteg”
Di Kota Tegal, ada sejumlah kelurahan yang mendapat julukan “Kampung Warteg” lantaran banyaknya penduduk setempat yang menjadi pengusaha warung makan itu. Sebut saja Kelurahan Cabawan di Kecamatan Margadana. Dari total 4.350 penduduk di sana, sekitar 80 persen di antaranya menggeluti bisnis warteg di Jakarta. Selanjutnya, ada Kelurahan Krandon di Kecamatan Margadana. Dari 6.700 lebih penduduk di daerah itu, sekira 50 persen di antaranya juga jadi pengusaha warteg di Ibu Kota.
Fenomena serupa juga ditemukan di beberapa desa di Kabupaten Tegal. Seperti Desa Sidakaton, Kecamatan Dukuhturi, misalnya. Sekira 45 persen dari total 9.000 penduduk di sana menekuni usaha warteg di Jakarta. Selain itu, ada lagi Desa Sidapurna yang setengah dari populasinya tercatat sebagai pemilik warung makan di Ibu Kota. Yang menarik, hampir semua rumah pengusaha warteg di desa-desa itu berukuran besar, berlantai dua (ada juga yang berlantai tiga), dan megah laksana istana.
“Mayoritas masyarakat di sini menjalani usaha warteg secara turun-temurun selama puluhan tahun di Jakarta. Dengan uang dari hasil usaha itulah, mereka membangun rumah di kampung halaman,” ujar salah seorang warga Cabawan, Aisyah, kepada iNews.
Dia menuturkan, beberapa hunian megah di kampung itu berada dalam keadaan kosong lantaran ditinggalkan pemiliknya—yang pergi merantau ke daerah lain demi mendulang rupiah. Empunya rumah hanya sesekali pulang ke Cabawan. “Ada yang pulangnya setahun sekali pas Lebaran (Hari Raya Idul Fitri) aja, ada juga yang pulang tiga bulan sekali,” kata Aisyah.
Perempuan itu mengungkapkan, ada dua metode yang diterapkan para pengusaha warteg dalam menjalankan bisnis mereka di Jakarta. Metode pertama, satu usaha warteg dikelola oleh satu orang secara penuh. Sementara metode lainnya, satu usaha warteg dikelola oleh dua orang secara bergiliran. Di kalangan masyarakat Tegal, metode kedua ini juga dikenal dengan istilah aplusan.
“Dalam sistem aplusan, seorang pengusaha akan bergantian mengelola warteg dengan saudara atau rekannya. Misalnya, empat bulan pertama yang jalanin si A, empat bulan berikut si B, lalu empat bulan berikutnya si A lagi, begitu seterusnya,” ucapnya.
Ketua Umum Kowarteg, Haji Sastoro mengatakan, kehadiran warteg mampu membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Dengan kata lain, bisnis rumah makan sederhana itu juga punya andil membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran di negeri ini. Sebagai gambaran, untuk warteg yang beroperasi 24 jam sehari, biasanya mempekerjakan 9 – 10 karyawan. Sementara, untuk warteg yang buka 12 jam sehari, lazimnya mempekerjakan 4 – 5 karyawan.
“Sekarang ini ada sekitar 26.000 warteg di Jakarta. Hitung saja, berapa total tenaga kerja yang terserap oleh warteg-warteg itu?” kata Sastoro saat dijumpai di kediamannya di Tegal, beberapa waktu lalu.
Tidak hanya itu, bisnis warteg juga punya kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi di daerah Tegal dan sekitarnya. “Bayangkan saja, jika tiap bulan ada 2.000 pengusaha warteg pulang kampung dan masing-masing mereka bawa Rp30 juta dari Jakarta, sudah berapa puluh miliar (rupiah) duit yang berputar di Tegal?” ujar Sastoro.
Menurut mantan anggota DPR periode 1999-2014 itu, ada satu prinsip yang dijadikan tolok ukur oleh orang-orang Tegal dalam menilai keberhasilan usaha warteg mereka. Prinsip itu adalah, mereka belum disebut sukses merantau jika belum membangun rumah di kampung halaman. Karena itu, kata Sastoro, tidak usah heran jika para pemilik warteg yang selama ini selalu terlihat tampil bersahaja di Jakarta, ternyata punya rumah mewah di daerah asal mereka.
“Mereka (para pengusaha warteg) itu ‘tahan banting’ semua. Mereka rela hidup sederhana di perantauan asal bisa membangun kampung halaman. Jadi, cari duit di sana (Jakarta), lalu bangun desanya di sini (Tegal),” tuturnya. ***