Sahabat saya, Rektor UII Yogyakarta, Prof Fathul Wahid, juga menelpon saya tertarik untuk mendapatkan buku-buku tersebut, yang kemudian bertemu keduanya. Saya menjadi saksi serah terima dengan syarat ketat: ruangan khusus (karena memang banyak sekali, ada 10.000 buku!), mudah dijangkau yang baca, ruang baca, dll. Saya juga ikut melihat proses pengiriman bertahap, ikut ke Yogyakarta.
Apa yang menarik? Pada usia hampir 80 tahun, Salim Said dengan kesadaran intelektualnya menyadari bahwa kumpulan buku-buku bacaannya yang berat adalah kekayaan pribadi sekaligus kekayaan intelektual yang berguna. Sebelum tiba waktu Tuhan menentukan nasibnya, kekayaan itu harus selamat. Saat ini ribuan buku akademik bermutu itu tersimpan rapi di UII, Salim Said Corner, Perpustakaan Pusat dan pasti bermanfaat secara akademis.
Saya berharap para akademisi senior yang pasti banyak sekali koleksinya meniru Salim Said. Saya sempat sedih warisan Mas Dawam (Prof Dawan Rahardjo) belum sempat terwariskan seperti ini. Universitas Paramadina mempunya program ini di mana akademisi senior dapat mewariskan buku-bukunya untuk menjadi kekayaan universitas.
Meskipun pendapatan terbatas, seorang intelektual sudah pasti mencintai buku dan banyak sekali koleksinya. Sudah setahun terakhir ini, sebagai contoh, ribuan koleksi buku Faisal Basri menghiasi dinding-dinding kantor lembaga think tank INDEF. Salim Said kecewa dengan pensiun dubes yang sangat kecil, tidak manusiawi, berada si bawah gaji buruh kasar. Sempat, berharap saya membantu untuk menjadi penasihat perusahaan media agar nilai jurnalisme di media itu ada bobotnya, sekaligus bisa menjadi tambahan membeli obat untuk komplikasi penyakitnya.
Itulah perjalanan seorang maestro intelektual, yang saya pandang paling hebat, paling detail dan paling mendalam pengetahuannya tentang politik militer di Indonesia, bahkan juga negara lain.***