Tak hanya itu, China dan Singapura juga telah menerapkan regulasi digital yang lebih ketat untuk menjaga kualitas informasi. Sedangkan, Indonesia perlu merumuskan model kebijakan yang sesuai dengan karakter ruang digital nasional yang bebas, dinamis, dan inklusif.
Meski begitu, ia mengakui wacana sertifikasi influencer bisa memicu perdebatan, terutama terkait kekhawatiran pembatasan kebebasan berekspresi. Oleh karenanya, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan komunikasi publik yang efektif agar kebijakan ini dipahami sebagai bentuk pembinaan, bukan pembatasan.
“Poin pentingnya bukan sekadar mengukur kemampuan teknis influencer dalam memproduksi konten, tetapi juga memastikan pemahaman mereka terhadap regulasi, literasi digital, dan moralitas publik,” tegasnya.
Meski mendukung, Filosa mengingatkan bahwa penerapan sertifikasi harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap, mengingat dampaknya yang besar terhadap ekosistem digital.
“Kebijakan ini bisa mengubah dinamika ruang digital secara signifikan. Karena itu, perlu kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak agar hasilnya tidak menimbulkan distorsi,” ucap Filosa.