"Meskipun dunia internasional telah sepakat mengenai prinsip kemerdekaan dan hak asasi manusia, perlakuan yang diterima Palestina justru mencerminkan keterbalikan dari prinsip-prinsip tersebut, terutama oleh negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya," kata dia.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan kebijakan Israel yang digerakkan oleh dendam pribadi terhadap kelompok Hamas tidak dapat dibenarkan dalam kerangka hukum internasional. Menurutnya, kebijakan Israel untuk memastikan Gaza bebas dari pejuang Hamas dan untuk mengembalikan sandera telah menimbulkan tragedi besar.
"Peran Mahkamah Kejahatan Internasional yang telah memanggil pihak-pihak terkait, termasuk Perdana Menteri Israel Netanyahu, untuk memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya," ujar dia.
Mantan Duta Besar RI untuk Iran, Dian Wirengjurit menambahkan tragedi ini bukan hanya masalah agama, melainkan juga menyangkut politik yang memiliki akar dalam perebutan wilayah, ideologi dan sumber daya alam. Dia menyoroti dukungan yang diberikan oleh negara-negara Arab terhadap Hamas serta peran negara-negara besar, seperti China, yang ikut campur dalam isu Palestina meskipun bukan negara dengan mayoritas Muslim.
"Tragedi ini adalah hasil dari dinamika politik global yang rumit dan berkembang," tutur dia.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin menilai kompleksitas masalah Israel-Palestina sangat sulit untuk diprediksi. Dia mengingatkan konflik ini bermula sejak Deklarasi Balfour 1917, yang masih menyisakan dampak buruk hingga kini.
Din mengaitkan Zionisme dengan klaim tempat suci yang memperburuk konflik. "Hubungan internasional, termasuk kebijakan bebas visa Israel ke Uni Emirat Arab sementara negara mayoritas Islam seperti Indonesia tidak mendapatkan hak yang sama, semakin memperparah ketegangan ini," tegas dia.