JAKARTA, iNews.id - Seorang mahasiswa bernama Binti Lailatul Masruroh mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selaku pemohon, Binti meminta pendanaan kegiatan pilkada dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan ketentuan Peraturan Menteri.
“Memperhatikan agenda penyelenggaraan pemilu nasional dan pilkada dilaksanakan secara serentak, maka biaya penyelenggaraan pilkada yang sampai dengan saat ini berasal dari APBD, sebaiknya dibebankan pada APBN,” ujar Binti dalam sidang perbaikan permohonan dikutip melalui laman resmi MK, Minggu (29/12/2024).
Pemohon menambahkan, biaya penyelenggaraan pilkada yang berasal dari APBD berpotensi mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu seringkali terkendala dengan penentuan anggaran pilkada karena bergantung pada persetujuan kepala daerah yang juga merupakan calon petahana serta partai politik pendukungnya di DPRD.
Dalam petitumnya yang telah diperbaiki, dia memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 166 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak dimaknai dengan, pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada APBN dan dapat didukung oleh APBD dengan ketentuan Peraturan Menteri.