Kesalahan lain yang tak bisa dilepaskan dari Kluivert adalah kebijakan pemilihan pemain yang kerap menuai kritik. Dia seperti tidak mengenal karakter pemain-pemain yang dimilikinya. Salah satu contohnya adalah dengan memainkan Yakob Sayuri sebagai bek kanan dalam pola empat bek.
Selain itu, dia kerap terlambat atau bahkan salah dalam mengambil keputusan pergantian pemain. Alhasil, tim kesulitan keluar dari tekanan.
Kluivert juga dianggap tidak memahami karakter sepak bola Asia. Dia gagal membaca gaya bermain tim-tim seperti Arab Saudi dan Irak yang mengandalkan kecepatan, agresivitas, dan pressing ketat.
Sebaliknya, gaya permainan yang coba dia terapkan justru tidak cocok untuk atmosfer kompetisi Asia yang keras dan cepat. Kekalahan dari Arab Saudi dan Irak mempertegas bahwa Kluivert belum memahami peta kekuatan lawan secara mendalam.
Faktor non-teknis yang juga menjadi sorotan adalah keputusan Kluivert yang tidak menetap di Indonesia. Berbeda dengan pelatih-pelatih Timnas Indonesia sebelumnya, orang Belanda ini malah lebih sering berada di negaranya sendiri ketimbang memantau pemain-pemain di kompetisi Indonesia.
Pemecatan Kluivert menjadi pelajaran penting bagi PSSI dalam memilih pelatih asing. Nama besar tidak menjamin kesuksesan tanpa adaptasi, komitmen, dan pemahaman terhadap kultur sepak bola Indonesia.
Kini, federasi dituntut menemukan sosok pelatih baru yang tidak hanya memiliki kemampuan taktik mumpuni, tetapi juga sanggup membangun fondasi kuat bagi Timnas Indonesia. Publik berharap pengganti Kluivert bisa membawa Garuda kembali terbang tinggi di Piala Asia 2027 dan membuka jalan menuju Piala Dunia 2030.