Pada masa terberatnya di Spurs, dia sempat berencana kuliah di Amerika Serikat dan bahkan menerima tawaran dari UCLA. Dia juga menandatangani kontrak enam bulan dengan FC Cincinnati 2 sebagai jalan menuju MLS Draft. Tetapi semuanya berubah ketika Manchester City menawarkan kontrak satu tahun plus opsi tambahan.
“Saya merasa akan menyesal jika tidak mengambil kesempatan di Man City,” katanya. Setelah merasakannya, dia akhirnya bisa melangkah pergi dengan lega karena sudah mencoba segalanya.
Willhoft-King mengaku sangat terkesan saat pertama kali dipanggil Pep Guardiola ke latihan tim utama. “Melihat Pep … dia sangat, sangat ekspresif. Energinya luar biasa,” ujarnya.
Namun rutinitas latihan pressing justru membuatnya letih secara mental. “Kami hanya berlari mengejar bola seperti anjing selama 30–60 menit.”
Di sisi emosional, kejenuhan makin terasa. “Saya tidak menikmatinya. Mungkin karena lingkungannya. Saya sering bosan,” katanya. Menurutnya, hidup sebagai pesepak bola muda justru minim aktivitas: latihan, pulang, istirahat, lalu mengulang.
Kini hidupnya sangat berbeda. Dia merasa lebih hidup, lebih sibuk, dan lebih tertantang. “Saya selalu merasa kurang terstimulasi di sepak bola. Sekarang saya bahkan kesulitan mencari waktu dalam sehari,” ucapnya.
Pada akhirnya, keputusan masuk Oxford bukan hanya tentang meninggalkan sepak bola, tetapi tentang masa depan panjang.
“Jika saya bermain di League One atau Championship, saya bisa mendapat uang yang bagus. Tapi apakah saya akan menikmatinya? Saya tidak yakin,” ujarnya. Baginya, dunia akademik memberi jaminan masa depan yang lebih panjang daripada karier sepak bola 10–15 tahun.