Di atas kertas, Sampdoria dihuni pemain dengan nama besar dan gaji tertinggi di Serie B. Nama-nama seperti Cragno, Altare, Romagnoli, Ronaldo Vieira, Borini, hingga bomber veteran Niang dan Massimo Coda — pencetak gol terbanyak sepanjang masa Serie B — seharusnya cukup membawa klub bersaing di papan atas. Namun kenyataan di lapangan berbicara lain.
Dengan hanya 41 poin dari 38 pertandingan, 38 gol yang dicetak, dan lima pergantian penjaga gawang dalam satu musim, kekacauan internal dan ketidakstabilan tim semakin kentara. Dua kemenangan melawan Cittadella dan Salernitana hanya menjadi "fatamorgana" dari konsistensi yang tak pernah hadir.
Puncaknya terjadi saat menghadapi Juve Stabia, tim yang sudah mengamankan tiket playoff. Dalam laga hidup-mati itu, Sampdoria tampil tanpa penyerang nomor 9 murni sejak awal, dan baru menurunkan Massimo Coda di babak kedua, keputusan yang menyulut kritik pedas dari suporter.
Sampdoria adalah klub yang pernah menaklukkan Italia dengan Scudetto bersejarah tahun 1991, mencapai final Liga Champions 1992 melawan Barcelona-nya Johan Cruyff, dan mengoleksi sejumlah trofi domestik dan Eropa lainnya. Kini, mereka jatuh ke kasta ketiga sepak bola Italia.
Penurunan ini bukan hanya soal hasil di lapangan, tetapi juga krisis visi, manajemen, dan identitas klub. Degradasi ke Serie C bukan akhir dari cerita, namun bisa jadi awal dari perjalanan berat dan tidak pasti bagi klub yang pernah menjadi kebanggaan kota Genoa dan seluruh penggemar sepak bola Italia.