Namun, kalender hanya menghitung 365 hari dalam satu tahun, sehingga ada selisih waktu yang terakumulasi setiap tahunnya. Jika tidak menambahkan satu hari ekstra setiap empat tahun, maka kalender dan musim akan semakin tidak sinkron. Dampaknya berpengaruh pada siklus pertanian, penanggalan, dan kegiatan lain yang bergantung pada musim.
Hal tersebut juga diakui NASA. Menurut NASA bumi membutuhkan waktu 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 46 detik untuk mengorbit Matahari dalam satu tahun. Meski pada tahun biasa hari dalam satu tahun dibulatkan menjadi 365 hari, hampir enam jam tambahan waktu tersebut tidaklah hilang.
Untuk itulah, kalender mengenal tahun kabisat (366 hari), dengan menambahkan 1 hari di kabisat. Jadi, waktu Bumi mengorbit matahari bisa sinkron.
Tanpa adanya Leap Day, dalam 100 tahun, kalender akan kehilangan 24 hari, dan dalam 700 tahun, bisa jadi musim panas di Belahan Bumi Utara akan dimulai pada bulan Desember.
Sebenarnya konsep tahun kabisat sudah dikenal sejak zaman Romawi kuno, ketika Kaisar Julius Caesar mengubah kalender yang sebelumnya berdasarkan bulan menjadi kalender yang berdasarkan matahari. Dia menetapkan bahwa setiap tahun yang bisa dibagi empat adalah tahun kabisat, dan menambahkan satu hari di akhir bulan Februari, yang merupakan bulan terakhir dalam kalender Romawi
Namun, sistem ini masih belum sempurna, karena ada perbedaan sekitar 11 menit antara tahun kabisat dan tahun matahari. Akibatnya, kalender menjadi terlalu cepat sekitar 10 hari dalam kurun waktu 1.500 tahun.
Untuk mengatasi masalah ini, Paus Gregorius XIII mengadopsi kalender Gregorian pada tahun 1582, yang merupakan kalender yang kita gunakan sekarang. Kalender ini menambahkan aturan tambahan untuk menentukan tahun kabisat, yaitu tahun yang bisa dibagi 100 bukan tahun kabisat, kecuali jika bisa dibagi 400.