Setiap kekuatan perang di Amerika Serikat, baik itu kekuatan besar dan beberapa kekuatan kecil telah berusaha untuk menghadirkan sistem senjata ini. Tidak hanya Amerika Serikat, China juga disebut telah berhasil mengembangkan senjata otonom penuh. Menurut Menteri Pertahanan AS Mark Esper, China sudah mengekspornya ke Timur Tengah.
Turki telah mengumumkan rencana untuk mengerahkan armada quadcopters Kargu otonom melawan pasukan Suriah pada awal 2020, dan Rusia juga mengembangkan senjata otonom untuk menjaga wilayah udaranya.
Mereka yang menggunakannya menyebut, senjata otonom penuh mampu memberikan keuntungan militer seperti reaksi yang lebih cepat dan pengurangan paparan langsung pasukan di medan perang.
Namun selama beberapa tahun terkahir, kampanye untuk menghentikan pengembangan robot otonom penuh telah digencarkan sebagian besar negara di dunia. Mereka membujuk negara-negara anggota PBB untuk merundingkan larangan senjata yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak semestinya.
Ribuan ilmuwan dan pemimpin di bidang komputasi dan pembelajaran mesin, termasuk DeepMind Google juga telah bergabung untuk menghentikan penggunaan senjata otonom penuh ini.
Setidaknya ada 30 negara telah menuntut larangan langsung atas senjata yang sepenuhnya otonom, dan sebagian besar negara lain menginginkan peraturan yang jelas untuk senjata ini.
Mereka menuntut ada aturan bahwa meskipun senjata mampu mencari targetnya sendiri, tetap manusia lah yang memiliki peran untuk mengambil keputusan untuk menyerang atau tidak. Namun, semua ini dihalangi oleh segelintir negara yang dipimpin oleh AS, Rusia, Israel, dan juga Australia.