1. Sejarah Pura Mangkunegaran
Sejarah pembangunan Pura Mangkunegaran erat kaitannya dengan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran. Awal berdirinya salah satu kerajaan di Solo ini terjadi pada 17 Maret 1757. Kala itu ada momen penandatanganan Perjanjian Salatiga antara Sunan Pakubuwana III dengan Raden Mas Said.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Mangkunegara I memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunungkidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Pendiri Pura ini adalah Raden Mas Said yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, lengkapnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang.
Sebagai penguasa Mangkunegaran, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara berkedudukan di Pura Mangkunegaran. Mangkunegaran adalah kadipaten yang posisinya di bawah kasunan dan kasultanan. Pada 1757-1946, Kadipaten Mangkunegaran adalah kerajaan otonom yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan mempunyai tentara yang independen dari kasunanan.
Pada September 1946, setelah lama menjadi kerajaan otonom, Mangkunegaran VIII menyatakan bergabung ke dalam NKRI, namun hingga 1945-1946 kehilangan kedaulatannya. Walau begitu, Pura ini masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya hingga pada saat ini.
Selain itu sebagai tempat penjaga budaya, pura kebanggaan masyarakat Solo ini, juga bisa dijadikan sebagai tempat diselenggarakannya berbagai acara atau kegiatan lain. Termasuk tempat resepsi dan ngunduh mantu Kaesang dan Erina Gundono nanti.
2. Larangan yang ada di Pura Mangkunegaran Solo
Ada beberapa aturan yang harus dipatuhi untuk mengadakan acara di pura ini. Salah satunya yakni kesenian Jawa dilarang mengenakan batik bermotif parang atau lereng selama berada di pura. Sebagai informasi, batik motif parang hanya boleh dikenakan oleh keluarga keraton.
Aturan tersebut memang sudah lama diatur dalam adat Mangkunegaran. Alasan lain larangan penggunaan batik parang di lingkungan pura adalah karena motif parang memiliki makna yang menyiratkan kekuatan dan pertumbuhan yang digunakan oleh raja. Oleh sebab itu, motif parang tidak boleh digunakan oleh rakyat biasa.