JAKARTA, iNews.id – Siapa pun pasti penasaran saat menginjakkan kaki di Pulau Nias, Sumatera Utara. Pengunjung saat tiba di Bandara Binaka Gunung Sitoli dapat langsung melihat omo hada (rumah adat), tari baluse (tari perang), dan hombo batu (lompat batu) yang pernah menghiasi mata uang rupiah.
Ucapan salam sehari-hari warga setempat “Yaahowu” tertulis besar di tengah gambar pejabat daerah, turut mengantarkan pengunjung keluar dari Bandara Binaka menuju desa wisata Bawomataluo. Bawomataluo yang dalam bahasa Nias berarti bukit matahari, sesuai dengan letaknya yang dibangun di atas bukit dengan ketinggian 324 meter di atas permukaan laut semenjak berabad-abad lalu.
Untuk menuju desa para pelompat batu itu, butuh waktu tiga jam dari Bandara Binaka di Gunung Sitoli atau 40 menit dari Teluk Dalam Ibu Kota Kabupaten Nias Selatan. Desa Bawomataluo ditinggali oleh setidaknya seribu kepala keluarga. Masyarakat di dalamnya sangat memegang teguh nilai adat istiadat dari leluhur. Beragam pusaka budaya yang dulu dimiliki oleh para leluhur masyarakat Nias masih disimpan dan dirawat dengan saksama.
Beberapa di antaranya adalah omo hada alias rumah adat tradisional terbuat dari kayu namun tanpa paku, terdapat situs megalitikum, pelestarian tari-tarian, hingga atraksi lompat batu alias hombo batu. Tidak heran, atraksi-atraksi tersebut menjadi magnet bagi para pelancong untuk singgah di desa di atas bukit ini.
Warga yang tinggal di dalamnya terus melestarikan budaya Bawomataluo secara turun-temurun dari generasi ke generasi, rumah-rumah adat di dalamnya juga diturunkan ke anak cucu. Begitu memasuki area desa Bawomataluo, umumnya pengunjung didampingi salah satu pemuda desa yang mencari penghasilan hidupnya dengan menjadi pemadu wisata bagi kampung yang dikenal dengan keindahan matahari terbit itu.