“Kami melihat minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, kami berupaya untuk meningkatkannya dengan membuat microlibraries yang menjangkau masyarakat dengan strategi merangkul ruang-ruang komunitas. Tidak hanya perpustakaan saja, tetapi ada unsur bermain dan berkumpul bersama,” kata Florina.
Nilai tambah dari perpustakaan ini adalah lokasinya yang terletak di pusat kota, tepatnya di Taman Kasmaran. Destinasi ini juga memiliki pemandangan yang indah ke Kampung Pelangi sehingga mampu mencuri perhatian voters dunia.
Microlibrary merupakan inisiasi SHAU (Suryawinata Haizelman Architecture Urbanism) Indonesia yang berkolaborasi dengan berbagai stakeholder, di mana ada pemerintah, CSR, foundation, dan komunitas.
“SHAU Indonesia merancang arsitektur bangunan, sementara PT Kayu Lapis Indonesia memasok kayu-kayu hasil olahan limbah pabrik yang sudah tidak terpakai. Lalu, Pemerintah Daerah Semarang menyediakan lahan dan izin pembangunan, serta perusahaan swasta yang menanggung biaya pembangunannya. Adapun Harvey Center yang mengelola perpustakaan ini agar dapat digunakan oleh masyarakat tanpa dipungut biaya,” kata Florina.
Florina menjelaskan, Microlibrary Warak Kayu mereferensi konsep ‘rumah panggung’ tradisional Indonesia yang terbuka. Teknik ini mengatur alur ventilasi udara, pencahayaan, dan konsep multifungsi suatu ruangan. Sehingga ada ruang pada bagian bawah untuk berbagai kegiatan yang bisa dilakukan warga.