Sesuai pertemuan, dikatakan Reza, biasanya para tuan-tuan perkebunan itu tak langsung pulang. Namun, berkumpul terlebih dahulu sehingga ketika akan kembali pulang ke daerahnya masing-masing akan terlalu larut malam.
Dari sanalah alasan mengapa banyak hotel di Malang, tentu dari sekian hotel yang dibangun, Wisma Tumapel kala itu menjadi penginapan yang diminati oleh para crazy rich perkebunan. Penginapan yang dibangun tak jauh dari Sungai Brantas menyuguhkan pemandangan indah dari sungai dan udaranya yang sejuk.
"Kalau pulang sudah terlalu malam, kalau jarak sini ke Tumpang itu empat jam, naik trem sini ke Dampit kecepatannya cuma 40 kilometer per jam, mereka kadang nginap. Di mana mereka nginap di Splendid itu. Awal-awal itu untuk menginap mereka," tuturnya.
Maka tak heran, bila akhirnya pemerintah kota di bawah kekuasaan Belanda memutuskan membangun hotel terlebih dahulu dibanding dengan perkantoran balai kota yang masuk dalam rancangan bouwplan. Hal ini sesuai dengan permintaan para crazy rich dan memfasilitasi para perusahaan swasta kala itu.
"Bouwplan dua baru dikembangkan, baru ada itu baru bouwplan belum ada bangunan, balai kota baru dibangun 1926 diresmikan 1929. Ternyata dari kronologi Splendid (Wisma Tumapel) lebih duluan daripada balai kota, Wisma Tumapel itu 1923, hotel lebih dulu dari pada Balai kota. Balai kota satu generasi dengan HPS (yang sekarang jadi kompleks SMA Tugu)," kata dia.
"Semua yang sponsori aktivitas perkebunan swasta tidak ada peran negara. Negara hanya regulator, yang berkuasa swasta, termasuk hotel-hotel yang mendirikan swasta, kepentingan orang-orang pebisnis, kalau kumpul di konkordia Malang, termasuk yang besar, dibandingkan konkordia lain, karena yang ditampung juga banyak," kata dia.