JAKARTA, iNews.id - Mengonsumsi air minum yang sehat dan bebas bakteri menjadi hal penting. Maka itu, masyarakat harus mewaspadai mengonsumsi air minum yang sudah terpapar bakteri.
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Ahmad Sulaeman mengatakan, kebutuhan konsumsi air minum masyarakat Indonesia masih bergantung dari AMDK dengan suplai 29 miliar liter per tahun.
Sementara, menurut data UNICEF hampir 70 persen sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses. Ini diperkuat hasil studi Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan sebanyak 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli.
“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 gelas per hari. Betapa air memang sangat penting. Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan. Secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya," Prof Ahmad Sulaeman belum lama ini.
Menurutnya, dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga. Namun, kata dia, kebijakan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon yang diupayakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menuai kontroversi.