Aturan Baru OJK, Biaya Layanan Kini Disatukan dengan Bunga Pinjol
JAKARTA, iNews.id - Biaya layanan pinjaman online (pinjol) sempat menjadi momok bagi masyarakat yang ingin meminjam uang. Pasalnya, biaya layanan membuat tagihan pinjaman di platform pinjol menjadi bengkak.
Selain itu, banyak perusahaan penyelenggara pinjol yang tidak transparan menyampaikan besaran biaya layanan. Kebanyakan perusahaan tidak mencantumkan besaran biaya layanan yang justru lebih besar dari bunga per hari.
Melalui aturan terbaru yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni, Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/ 2023 Tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, biaya layanan sudah menjadi dengan bunga pinjaman atau disebut dengan manfaat ekonomi.
Manfaat ekonomi yang dikenakan oleh penyelenggara merupakan tingkat imbal hasil, termasuk bunga/margin/bagi hasil, biaya administrasi/biaya komisi/fee platform/ujrah yang setara dengan biaya dimaksud, serta biaya lainnya, selain denda keterlambatan, bea meterai, dan pajak.
“Kami di SE pakai istilah manfaat ekonomi, karena di manfaat ekonomi itu kolektif, berbagai biaya segala macam sudah tercantum. Manfaat ekonomi juga kondusif di fintech syariah,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan OJK, Agusman dalam konferensi pers Peluncuran Roadmap LPBBTI Periode 2023-2028 dikutip, Sabtu (11/11/2023).
Adapun, besaran manfaat ekonomi ditetapkan berdasarkan dua jenis pendanaan, yakni untuk pendanaan produktif bunga yang berlaku sebesar 0,1 persen per hari dari nilai pendanaan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2024 hingga akhir Desember 2025. Kemudian, mulai 1 Januari 2026 akan berlaku bunga baru sebesar 0,067 persen per hari.
Sementara, untuk pendanaan konsumtif, yang dibatasi untuk tenor pendanaan jangka pendek kurang dari satu tahun sebesar 0,3 persen per hari, yang berlaku selama satu tahun sejak 1 Januari 2024. Lalu, sebesar 0,2 persen per hari yang berlaku selama satu tahun sejak 1 Januari 2025, serta sebesar 0,1 persen per hari yang berlaku sejak 1 Januari 2026.
“Kenapa secara bertahap? Karena industrinya butuh penyesuaian. Kalau tidak nanti keberlanjutan industri akan terganggu,” ucap Agusman.
Di samping itu, OJK juga mengatur batas maksimum denda keterlambatan, di mana untuk pendanaan produktif, yaitu sebesar 0,1 persen per hari yang berlaku selama dua tahun sejak 1 Januari 2024 dan sebesar 0,067 persen per hari yang berlaku sejak 1 Januari 2026.
Sedangkan, untuk pendanaan konsumtif yang dilakukan secara bertahap yaitu sebesar 0,3 persen per hari yang berlaku selama satu tahun sejak 1 Januari 2024, kemudian sebesar 0,2 persen per hari yang berlaku selama satu tahun sejak 1 Januari 2025, dan sebesar 0,1 persen per hari yang berlaku sejak 1 Januari 2026.
Seluruh manfaat ekonomi dan denda keterlambatan yang dapat dikenakan kepada pengguna tidak melebihi 100 persen dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian pendanaan.
Adapun, penetapan batas maksimum manfaat ekonomi dan denda keterlambatan di atas dapat dilakukan evaluasi secara berkala sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh OJK dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian dan perkembangan industri LPBBTI.
Editor: Aditya Pratama