Fakta-Fakta Naiknya Inflasi di AS, Pemerintah Harus Lakukan 2 Langkah Ini
JAKARTA, iNews.id – Inflasi di Amerika Serikat (AS) mencapai 8 persen, melonjak ke level tertinggi sejak 1981. Naiknya inflasi dikhawatirkan akan membuat Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) mempercepat kenaikan suku bunga, bahkan bisa memicu resesi ekonomi global.
Berikut fakta-fakta naiknya inflasi di Amerika Serikat yang dirangkum MNC Portal di Jakarta, Sabtu (11/6/2022):
1. Cetak Rekor Tertinggi Sejak 1981
Inflasi Amerika Serikat bulan Maret 2022 mencapai 8,5 persen. Indeks harga konsumen (CPI) AS naik dari posisi Februari yang sebesar 7,9 persen.
Inflasi AS mencetak rekor tertinggi sejak 1981 sekaligus memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve akan melanjutkan kebijakan kenaikan suku bunga pada bulan depan, dilansir Reuters, Selasa (12/4/2022).
2. Selalu Berada di Atas 6 persen Selama Enam Bulan Berturut-turut
Inflasi AS tercatat selalu berada di atas 6 persen selama enam bulan berturut-turut.
Angka inflasi yang tinggi sejak pandemi bertambah kuat seiring peperangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, di mana Amerika Serikat melibatkan diri dengan aneka sanksinya. Kebijakan ini semakin mendongkrak harga-harga komoditas energi, pangan, dan logam.
Pembacaan inflasi yang kuat mengikuti data bulan lalu yang menunjukkan tingkat pengangguran turun ke level terendah baru dua tahun di 3,6 persen pada Maret 2022.
3. Bisa Picu Resesi Ekonomi Global
Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa kenaikan tingkat suku bunga AS atau The Fed Rate yang excessive atau berlebihan bisa 3-4 kali kenaikannya di tahun 2022. Hal ini, dapat memicu terjadinya resesi ekonomi global, bukan hanya di AS.
"Hal ini karena terjadi kenaikan biaya bunga atau cost of fund bagi pelaku usaha, khususnya pelaku usaha yang memiliki rasio utang yang cukup tinggi, mereka akan kesulitan membayar pinjaman sementara tidak semua permintaan mengalami kenaikan. Belum semua permintaan mengalami kenaikan seperti di level pra-pandemi," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta.
Jika terjadi resesi ekonomi di AS, maka dapat dipastikan dampaknya meluas secara global, mengingat AS merupakan negara ekonomi terkuat di dunia. Apalagi China yang merupakan pesaing AS belum sepenuhnya pulih, karena gelombang pandemi yang kembali terjadi di sejumlah kota dan memaksa pemerintah melakukan lockdown yang berpengaruh pada produksi dan aktivitas perekonomian.
4. Saran Ekonom
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menyebutkan, inflasi akan mempengaruhi daya beli masyarakat karena kecepatan kenaikan harga tidak disertai dengan naiknya pendapatan kelompok menengah bawah. Selain itu, jika inflasi naik maka garis kemiskinan akan naik dan membuat orang miskin bertambah.
Terkait dengan itu, ada dua langkah yang harus dilakukan pemerintah demi menjaga daya beli masyarakat, sekaligus kestabilan ekonomi negara. Kedua langkah itu adalah, subsidi upah dan subsidi energi (BBM, listrik, dan gas).
"Untuk menjaga daya beli pemerintah bisa melakukan beberapa langkah taktis. Contohnya adalah subsidi upah perlu dilanjutkan dan nominalnya harus lebih tinggi dari tahun 2020-2021 lalu," kata Bhima.
Setidaknya, kata dia, satu orang pekerja mendapat Rp1,9 juta dengan asumsi 1 pekerja menanggung 3 orang anggota keluarga sehingga tidak jatuh di bawah garis kemiskinan. Hal ini berdasar pada asumsi garis kemiskinan Rp486.168 per kapita per bulan.
"Masalah pendataan perlu terus diperbaiki akurasi penerima dengan sinkronisasi data di BPJS Ketenagakerjaan maupun data riil perusahaan," ungkap Bhima.
Untuk dana subsidi upah, dia menyarankan sebaiknya dicari dari windfall kenaikan penerimaan negara dari harga komoditas ekspor dan realokasi dari proyek strategis nasional.
Selain itu untuk subsidi energi agar inflasi tetap terjaga, antisipasi jangka pendeknya adalah dengan merombak APBN dan menambah alokasi subsidi energi.
"Saran subsidi energi untuk periode Mei-September naik menjadi Rp200-250 triliun. Yang paling penting BBM, listrik dan gas jenis subsidi dijaga dulu stabilitas harganya, jangan dinaikkan," tutur Bhima.
Editor: Jeanny Aipassa