Kebijakan Pengetatan Agresif The Fed Berisiko Dorong Ekonomi Global ke dalam Resesi
NEW YORK, iNews.id - Kebijakan pengetatan moneter agresif yang dilakukan Federal Reserve (the Fed) menyebabkan dolar AS terapresiasi ke level tertinggi selama beberapa dekade, sehingga menekan mata uang di seluruh dunia. United Nations Conference on Trade Development (UNCTAD) memperingatkan tindakan the Fed dan bank sentral lainnya berisiko mendorong ekonomi global ke dalam resesi.
Dalam sebuah laporan badan PBB tersebut disebutkan, pengetatan kebijakan moneter untuk meredakan inflasi dapat menimbulkan kerusakan lebih buruk secara global dibanding dengan krisis keuangan pada
2008 maupun guncangan Covid-19 di 2020 lalu.
Badan tersebut memperkirakan, setiap kenaikan suku bunga yang dilakukan the Fed akan menurunkan output ekonomi negara-negara kaya lainnya sebesar 0,5 persen dan output ekonomi di negara-negara kurang berkembang sebesar 0,8 persen selama tiga tahun.
Itu karena dolar AS yang kuat membuatnya menjadi lebih mahal bagi negara lain untuk melakukan impor barang-barang penting, seperti makanan dan energi. Greenback yang meningkat terutama akan menghancurkan negara-negara miskin yang harus memenuhi kewajiban utang mereka dalam dolar AS.
Menurut laporan tersebut, kenaikan suku bunga AS tahun ini saja bisa memangkas pendapatan masa depan untuk negara-negara berkembang sebesar 360 miliar dolar AS karena naiknya dolar AS.
Badan PBB itu menyatakan, tindakan The Fed sebagai pertaruhan yang tidak bijaksana, dengan kehidupan mereka yang kurang beruntung. Badan PBB itu mengigatkan, jika bank sentral tidak jalan dengan benar maka negara-negara berkembang dapat jatuh ke dalam serangkaian krisis utang serta keadaan darurat kesehatan dan iklim.
Presiden Bank Dunia David Malpass pada pekan lalu memperingatkan perfect storm stagflasi dan resesi global dapat membalikkan pembangunan ekonomi selama bertahun-tahun. Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WHO) Ngozi Okonjo-Iweala juga mengatakan, dunia sedang menuju ke dalam resesi.
Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini menurunkan proyeksi ekonominya untuk tahun depan dan bank sentral India mengatakan pada akhir pekan lalu bahwa ekonomi global mengalami guncangan karena kebijakan moneter.
Menurut Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan, ada lebih dari satu cara untuk menurunkan tingkat inflasi, tidak hanya dengan menaikkan suku bunga. Misalnya, negara-negara dapat menerapkan pajak tak terduga — pungutan satu kali pada industri yang telah mengalami keuntungan luar biasa tinggi — di perusahaan minyak dan gas (migas).
"Masih ada waktu untuk mundur dari jurang resesi," katanya, dikutip dari CNN Business, Rabu (5/10/2022).
Pemerintah Uni Eropa telah setuju untuk mengenakan pajak atas keuntungan tak terduga dari perusahaan migas. Namun Kongres AS sepertinya tidak akan menyetujui pajak baru menjelang pemilihan paruh waktu pada November mendatang.
Wakil Ketua Federal Reserve Lael Brainard mengatakan, saat dolar AS lebih tinggi memberikan tekanan inflasi di seluruh dunia, namun mundur dari pertarungan inflasi sebelum waktunya akan memiliki konsekuensi yang lebih buruk.
Sementara itu, Kepala Ekonom Eurasia Group Robert Khan meyakini bahwa, "Jika dibiarkan, tekanan inflasi ini dapat terbukti sangat merusak pertumbuhan dan kesejahteraan global."
Editor: Jujuk Ernawati