Kilas Balik Sejarah Perkembangan dan Pembangunan Jalan di Jawa dan Madura
JAKARTA, iNews.id - Jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda, jalan telah ada sebagai sarana mobilisasi masyarakat di Nusantara. Terdapat asumsi bahwa Daendels tidak membangun jalan, namun Daendels hanya menyambungkan jalan yang telah ada dari Anyer ke Panarukan seperti yang terjadi dengan Jalan Pantai Utara Jawa Tengah.
Dilansir dari buku 'Jalan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke' yang disusun oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Minggu (13/12/2020), pada masa Mataram Islam, jalan dianggap sebagai faktor utama dapat bertahannya kekuasaan melalui konsolidasi dari wilayah pesisir pantai hingga pedalaman.
Keberadaan Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah ini perlu dilacak lebih lanjut keberadaannya karena hal ini dapat menjadi bukti bahwa masyarakat Nusantara telah sadar akan kebutuhan jalan dan membangunnya sendiri, tidak serta-merta segala sesuatu infrastruktur di Nusantara dibangun pada masa kolonial oleh Kerajaan Belanda.
Jalan raya juga secara kuat mempengaruhi perkembangan politik dan ekonomi di Pulau Jawa. Adanya sebuah jalan raya memungkinkan antar daerah dan wilayah di Pulau Jawa menjadi terhubung, dan memungkinkan terjadinya interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Di wilayah Pantai Utara Jawa Tengah, jalan raya telah hadir jauh sebelum kehadiran penjajahan Belanda.
Sebelum Kerajaan Mataram berhasil ditaklukan, daerah-daerah pesisir yang dilalui oleh Jalan Raya Pesisir memiliki perekonomian yang kuat, yang menghubungkan perdagangan dari luar Pulau Jawa masuk ke pedalaman Pulau Jawa. Perekonomian yang berkembang adalah ekonomi maritim. Setelah secara bertahap daerah pesisir jatuh ke tangan VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC kepada Kerajaan Mataram dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan, perekonomian di daerah pesisir utara Pulau Jawa pun berubah.
Pembangunan Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang dilakukan Herman Willem Daendels (1808-1811) dan memanjang dari Anyer sampai Panarukan merupakan proyek besar yang berlangsung kurang lebih satu tahun dengan menghabiskan dana, tenaga, dan jiwa manusia yang banyak. Kuli- kuli yang berasal dari Jakarta dan wilayah Kabupaten Priangan yang bekerja untuk pembangunan jalan tersebut setiap hari hanya memperoleh 1,25 pon beras dan 5 pon garam per bulan.
Sementara itu, Daendels membangun Jalan Raya Pos terinspirasi oleh Cursus Publicus (Lembaga Perposan), sebuah sistem transportasi dan jalan pada masa Kekaisaran Romawi yang kemudian diwariskan ke Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium. Sistem jalan yang terdapat tersebut dapat digunakan oleh masyarakat kuno pada masa Kekaisaran Romawi dengan membayar sejumlah uang di tiap pos yang dilalui. Dalam jalan tersebut juga disediakan beberapa hewan dan peralatan untuk melakukan perjalanan.
Pada awal masa Tanam Paksa, jalan pos tinggalan Daendels ini masih berfungsi dengan baik. Di wilayah Pantai Utara Jawa bagian tengah, jalur tersebut menghubungkan Kota Semarang, Demak, Pekalongan, dan kota-kota lain menuju ke wilayah pedalaman. Jalan besar tersebut memiliki anak cabang dalam bentuk jalan kecil dan jalan kuda yang menghubungkan antar kota dan desa-desa di Jawa Tengah.
Pada perkembangan selanjutnya di masa Hindia Belanda, pembangunan jalan tidak akan terlepas dari sebuah institusi yang bernama Burgelijke Openbare Werken (BOW). Setiap tahun BOW melakukan pelaporan melalui verslag. Di dalam Verslag BOW 1892 terdapat laporan tentang pembangunan dan pemeliharaan jalan serta jembatan di berbagai daerah pada abad ke-19.
Verslag BOW 1892 juga dapat memberikan gambaran terkait pembuatan jalan di berbagai daerah di Hindia Belanda yang pada umumnya masih sangat sederhana di awal abad ke-19. Selain Verslag, terdapat pula Memori Serah Jabatan Residen di beberapa daerah yang juga membantu memberikan gambaran terkait pembangunan dan pemeliharaan jalan di Hindia Belanda, juga beberapa sumber lain yang menyajikan informasi terkait perkembangan jalan.
Editor: Dani M Dahwilani