Kisah Sukses Pendiri Blue Bird, Memulai Bisnis Taksi dari 2 Mobil Sedan Kini Punya 20.000 Armada
JAKARTA, iNews.id - Kisah sukses pendiri Blue Bird, Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, menarik untuk diulik. Pasalnya, Blue Bird merupakan salah satu transportasi publik legendaris di Indonesia.
Bicara tentang Bluebird tak bisa dilepaskan dari sosok Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Dia adalah istri dari Djokosoetono, seorang pakar hukum yang ikut mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Akademi Hukum Militer. Djokosoetono juga adalah dekan pertama Fakultas Hukum UI.
Mutiara lahir di malang, pada 17 Oktober 1921. Sejak kecil, Mutiara terbiasa bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Setamat SMA, Mutiara kemudian kuliah di fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Semasa kuliah, dia bertemu dengan Djokosoetono, yang merupakan dosennya di Fakultas Hukum UI. Mereka kemudian menikah. Untuk menopang ekonomi keluarga, Mutiara berjualan batik dan telur ayam, dengan cara menawarkan dari rumah ke rumah di sekitar rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Mutiara pun mengajarkan kedua anaknya, yakni Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto, untuk terlibat di bisnis jualan telur yang kemudian berkembang pesat.
Saat suaminya meninggal pada 1965, Mutiara memutuskan untuk membeli bemo (sejenis angkot) dari Departemen Perindustrian dan menyerahkannya kepada kedua putranya untuk melayani di rute Harmoni-Kota.
Seiring waktu berjalan, keluarga Djokosoetono mendapat hadiah dari PTIK dan AHM berupa dua mobil sedan, Opel dan Mercedes. Dari dua mobil sedan inilah, Mutiara memulai bisnis taksi.
Mutiara meminta kedua putranya untuk menerapkan konsep pemesanan taksi via telepon. Tak malu-malu, di awal percobaan bisnis, kedua putranya pun ikut menyetir mobil mengantarkan penumpang.
Karena putra pertamanya, Chandra, kerapkali melayani panggilan layanan taksi, Mutiara kemudian mendirikan perusahaan taksi dengan nama Chandra Taksi, yang menerapkan konsep tarif per meter.
Bisnis taksi Mutiara sempat menghadapi kendala perizinan karena hanya memiliki 60 unit. Sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mensyaratkan perusahaan taksi harus memiliki minimal 100 unit.
Tak tinggal diam, Mutiara berusaha meminjam ke Bank Bumi Daya demi membeli unit mobil tambahan. Setelah resmi berizin, Chandra Taksi berganti nama menjadi Blue Bird yang terinspirasi dari salah satu dongen asal Eropa yang digemari Mutiara.
Berkat kemampuannya mengelola perusahaan, jumlah taksi Blue Bird bertambah signifikan dengan cepat. Pada 1985 perusahaan memiliki lebih dari 2.000 unit mobil taksi. Blue Bird juga dipercaya sebagai salah satu taksi yang melayani tamu-tamu KTT GNB 1992. Merk Silverbird muncul saat itu, dengan segmen kelas eksekutif.
Seiring perkembangan zaman, Blue Bird terus berinovasi. Hal ini pula yang membuat Blue Bird terus berkembang dan bertahan menjadi perusahaan taksi terbesar di Indonesia. Pada 1994, Blue Bird mulai menggunakan computerized system untuk mengoperasikan call center.
Saat bisnis Blue Bird semakin berkembang, Mutiara diketahui menderita kanker paru-paru. Pelan-pelan dia menyerahkan perusahaan kepada kedua putranya untuk berkonsentrasi menyembuhkan penyakitnya.
Pada 10 Juni 2000, Mutiara meninggal dunia setelah melalui perawatan intensif di RS Medistra, Jakarta. Meski telah tiada, semangat Mutiara terus membuat Blue Bierd melebarkan sayap mengikuti perkembangan zaman.
Pada 2002, Blue Bird resmi menggunakan warna biru metalik yang menjadi ciri khas taksi tersebut sampai saat ini. Saat ini, Blue Bird telah menjadi perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan nama PT Blue Bird Tbk.
Untuk mendukung kegiatan bisnisnya, hingga akhir tahun 2021, perusahaan ini memiliki lebih dari 20.000 armada dan 23.000 karyawan yang tak hanya beroperasi di Jakarta, tetapi total di 18 kota.
Demikian kisah sukses pendiri Blue Bird, Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, yang menginspirasi dan memotivasi. Meski memulai usaha dari 2 mobil sedan, kini perusahaan yang didirikannya tercatat memiliki lebih dari 20.000 armada taksi.
Editor: Jeanny Aipassa