Menakar Strategi Krakatau Steel ketika Indonesia Kebanjiran Baja Impor
Tren Kenaikan Impor Baja
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren kenaikan impor baja terjadi pascaCovid-19, padahal pergerakannya sempat turun dikala pandemi. Hingga akhir 2022 volume impor dalam negeri menjadi 16,8 juta ton, naik tajam dibandingkan dengan posisi 2021 yang berada di level 15,6 juta ton.
Sebelum pandemi atau sepanjang 2019, impor bahan material ini meningkat hingga 19 juta ton, namun menurun drastis menjadi 14,1 juta ton di tahun 2020.
Tren kenaikan berlanjut, pada kuartal I 2023 impor naik 7,7 persen atau sebesar 3.898 ton. Hanya saja, nilai impor turun 22 persen menjadi 3.154 juta dolar AS bila dibandingkan dengan periode yang sama 2022 yakni 4.045 juta dolar AS.
BPS merinci HRC menjadi kontributor besar atas impor baja pada awal tahun ini dengan persentase 80.000 ton, lebih besar dari jenis section 36.000 ton dan coated sheet 35.000 ton. Namun, lebih kecil dari pipa baja sebesar 170.000 ton dan pelat 120.000 ton.
Produk setengah jadi berupa billet dan slab juga meningkat, di mana masing-masing di level 120.000 dan 95.000 ton. Namun, impor turun signifikan untuk produk ferroalloy sebanyak 352.000 ton.
"Perlu dicatat, impor produk hilir berupa pipa, pelat, HRC, section, dan coated sheet menjadi pesaing dari produk hilir baja dalam negeri. Itulah kenapa harus dikendalikan," tutur Tauhid.

Volume impor baja masih sangat tinggi dan menjadi penyebab rendahnya tingkat utilisasi industri baja nasional. Saat ini, utilisasi beberapa segmen produk baja masih di bawah 60 persen, jauh dari kondisi ideal yaitu 80 persen.
Terkait dengan itu, Tauhid menilai strategi Krakatau Steel untuk menekan impor baja dapat dilakukan dengan meningkatkan utilitas pabriknya dari kapasitas terpasang sebesar 3,9 juta ton per tahun saat ini.
Sejak 2022, KRAS berkomitmen meningkatkan utilitas hingga 80 persen agar dapat membidik pasar domestik, sekaligus mencegah suplai baja dari negara lain. Adapun kapasitas terpasang atau kemampuan produksi KRAS berasal dari pabrik HSM1 dan HSM2, di mana masing-masing sebesar 2,4 juta dan 1,5 juta ton per tahun.
Krakatau Steel dan Pohang Iron and Steel Company (Posco) sepakat menambah investasi sebesar 3,5 miliar dolar AS atau setara Rp52 triliun mulai tahun ini. Aksi korporasi itu untuk memperluas kapasitas produksi KRAS dan mendorong hilirisasi industri baja nasional.
Posco adalah produsen baja terbesar keempat di dunia dengan tingkat produksi mencapai 42 juta ton per tahun. Perusahaan multinasional asal Korea Selatan itu memiliki investasi di berbagai negara baik di Asia, Amerika Serikat, Eropa, dan Australia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan komitmen kerja sama KRAS dan Posco penting dilakukan untuk mendorong hilirisasi baja di Indonesia.
Menurut dia, pemerintah tengah mendorong hilirisasi industri untuk baja tahan karat atau stainless steel. Selain itu, masih ada fragmentasi rantai pasok, karena sebagian bahan baku masih tergantung dengan negara lain misalnya, Brazil dan Chile.
"Rantai pasok yang terfragmentasi hanya merugikan perusahaan baja lokal," kata Bhima.
Dia menilai, hilirisasi harus sinkron dengan kebutuhan KRAS. Artinya, produk bahan baku diolah menjadi setengah jadi kemudian ada porsi wajib masuk ke pabrik KRAS, misalnya 60-80 persen.
"Selama tidak ada kejelasan rantai pasok, kita dihantam dua sisi, impor baja dan perusahaan asing yang mengolah bahan mentah langsung dijual ke pengguna akhir," tutur Bhima.
Editor: Jeanny Aipassa