Menkeu Minta PLN dan Pertamina Evaluasi Proyek yang Tinggi Impor
JAKARTA, iNews.id – Pemerintah terus mematangkan strategi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan yang pada tahun ini diprediksi melebar. Salah satunya dengan mengurangi impor belanja modal proyek infrastruktur.
Menter Keuangan, Sri Mulyani Indrawati telah meminta kepada PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) untuk mengevaluasi proyek-proyek yang membutuhkan barang modal impor yang cukup tinggi.
“PLN dan Pertamina diminta untuk melihat komponen impor dari proyek-proyek mereka. Karena ini adalah dua BUMN yang memiliki komponen impor barang modal yang cukup besar," kata Menkeu di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga Ememinta kepada dua BUMN tersebut untuk semaksimal mungkin menggunakan barang modal yang berasal dari dalam negeri sesuai aturan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri). Jika tidak bisa, proyek tersebut diminta ditunda. Begitu pun dengan proyek yang belum masuk dalam tahap financial closing diminta untuk ditunda.
"Jadi akan kita lihat apakah mereka bisa dipenuhi dalam negeri. Akibatnya, kegiatan ekonomi di Pertamina dan PLN akan sedikit turun atau tidak setinggi kemarin," kata Menkeu.
Dia menyebut, penundaan proyek infrastruktur yang tinggi barang modal impor merupakan salah satu strategi pemerintah untuk menghemat devisa. Selain langkah tersebut, strategi lain juga tengah dimatangkan, termasuk kebijakan biodiesel B20 dan pengetatan 500 jenis bahan baku dan barang modal.
“Kita harap CAD akan bisa dikendalikan. Kita akan cari komoditas (impor) yang multiplier-nya paling sedikit dari growth, jadi meskipun impor ditekan tapi pertumbuhan ekonomi masih bisa dijaga," kata Sri Mulyani.
Untuk diketahui, Bank Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) di triwulan II-2018 mencapai 8 miliar dolar AS atau menyentuh 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang tercatat 5,7 miliar dolar AS atau 2,2 persen dari PDB. (Yohana Artha Uly)
Editor: Rahmat Fiansyah