Soal Kebijakan BBM, Faisal Basri Sarankan Indonesia Tiru Timor Leste
JAKARTA, iNews.id - Ekonom senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, menyarankan pemerintah untuk meniru kebijakan bahan bakar minyak (BBM) dari Timor Leste. Negara tetangga tersebut pernah menjadi bagian dari Indonesia hingga tahun 2002.
Menurut dia, Indonesia perlu belajar cara mengelola BBM dan menerapkan kebijakan BBM bersubsidi dari Timor Leste karena cadangan minyak dalam negeri terus menyusut hingga diperkirakan akan habis dalam waktu maksimal 9 tahun lagi.
"Negara tetangga kita, saudara dekat kita, Timor Leste itu lebih bijak dalam melihat BBM ini," kata Faisal Basri dalam webinar "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran", Selasa (30/8/2022).
Dia mengungkapkan, kebijakan pemerintah Timor Leste dalam mengelola cadangan minyaknya, terlihat dari penetuan harga BBM di negara itu yang cenderung lebih mahal dari Indonesia. Padahal, Timor Leste merupakan salah satu produsen dan eksportir migas hingga saat ini.
"Lebih mahal dari Indonesia walaupun dia produsen dan eksportir BBM. Karena apa? Dia enggak mau kasih subsidi suka-suka. Mereka sisihkan 30 persen dari pendapatan minyaknya itu dalam bentuk oil fund," ujar Faisal Basri.
Faisal membeberkan, dengan penetapan harga minyak yang lebih sesuai harga pasar, dan tidak sembarangan memberikan subsidi energi, pemerintah Timor Leste mampu memanfaatkan dana yang diperoleh dari penjualan minyak mentah itu untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.
"Dana minyak itu untuk beasiswa, sekolah, bangun infrastruktur, EBT (energi baru dan terbarukan) energi solar, dan sebagainya itu. Nah itu Timor Leste, memang negaranya relatif kecil," ungkap Faisal.
Selain Timor Leste, kata dia, banyak juga negara lain yang lebih cermat mengelola cadangan minyaknya. Misalnya salah satu negara dengan cadangan minyak yang besar, yaitu Norwegia. Negara itu punya juga memiliki oil fund yang jumlanya setara Rp1.300 triliun.
"Walaupun kaya minyak tapi tabungan dari minyaknya itu Rp1.300 triliun, jadi dia enggak susah. Denmark juga dengan itu. Anda dikasih 10.000 dolar AS per bulan untuk kuliah. Kuliah dikasih duit. Kalau kita, kan bayar mahal jalur A, B, C. Pokoknya ribet deh komersialisasi pendidikan itu," tutur Faisal Basri.
Saat ini, lanjutnya, menjadi momentum bagi pemerintah untuk betul-betul mereformasi tata kelola minyak mentah dan subsidi BBM yang sebetulnya sudah dimulai Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak 2014.
"Kalau kita begini terus, ingat minyak kita itu 7-9 tahun lagi habis. Barangkali beli minyaknya harga dunia, 9 tahun lagi loh itu namanya reserve to production ratio. Kenapa turun terus ini lifting di bawah 700.000, sementara konsumsi kita kira-kira 1,4 juta totalnya," ujarnya.
Akibat minimnya produksi migas di tengah tingginya konsumsi BBM, pemerintah terpaksa impor 700.000 barel per hari dengan uang APBN. Minyak yang juga disubsidi itu, kata Faisal, dibeli dengan mata uang dolar AS sekitar 18 miliar dolar AS.
"Itu yang kita habiskan. Untuk itu saja. Makanya rupiah melemah, subsidinya naik lagi, jadi ribet gara-gara si BBM ini enggak diselesaikan. Yang saya takut 2040-2050 kita krisis energi karena batu bara kita enggak bisa menutupi, kita akan defisit subsdi energi 40 miliar dolar AS. Gak ada kedaulatan energi, malah kita didikte sama negara-negara lain," kata Faisal Basri.
Editor: Jujuk Ernawati