IATA Akan Disuntik Aset Senilai Rp2,6 Triliun
JAKARTA, iNews.id - PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA) telah menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
dengan PT MNC Investama Tbk (BHIT) untuk mengakuisisi 99,33 persen saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) setelah mengumumkan rencana akuisisi tambang batubara pada Oktober 2021 lalu.
BCR adalah perusahaan induk dari sembilan perusahaan batu bara dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berlokasi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. IUP yang dimiliki BCR, antara lain PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC) dan PT Putra Muba Coal (PMC), sudah dalam tahap produksi, dengan perkiraan produksi sebesar 2,5 juta metrik ton tahun ini. Sedangkan PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE) akan mulai memproduksi batubara pada 2022.
Lima IUP lainnya, PT Energi Inti Bara Pratama (EIBP), PT Sriwijaya Energi Persada (SEP), PT Titan Prawira Sriwijaya (TPS), PT Primaraya Energi (PE), dan PT Putra Mandiri Coal (PUMCO) akan mulai beroperasi dalam satu atau dua tahun mendatang. Total luas area pertambangan untuk sembilan IUP tersebut adalah 74.004 hekare (ha).
Estimasi total sumber daya BSPC dan PMC sebesar 130,7 juta MT dan 76,9 juta MT dengan perkiraan total cadangan masing-masing sebesar 83,3 juta MT dan 54,8 juta MT. Kisaran GAR BSPC dan PMC adalah 2.800 – 3.600 kkal/kg. Berdasarkan data internal BCR, tujuh IUP lainnya memiliki estimasi total sumber daya hingga lebih dari 1,4 miliar MT.
Valuasi gabungan 100 persen BSPC dan 53,84 persen PMC dari KJPP Kusnanto & Rekan adalah 181,9 juta dolar AS atau setara Rp2,6 triliun. IATA dan BHIT menyepakati harga transaksi pembelian 99,33 persen BCR sebesar 140 juta dolar AS, 23 persen lebih rendah dari valuasi BSPC dan PMC. Adapun harga pembelian sebesar 140 juta dolar AS sudah mencakup tujuh IUP lainnya yang telah dijelaskan di atas.
Hingga akhir 2021, pendapatan BCR diperkirakan mencapai 74,8 juta dolar AS dengan EBITDA 33 juta dolar AS. BCR akan meningkatkan produksinya menjadi 8 juta metrik ton pada 2022 dan 12 juta metrik ton pada 2023.
BCR juga memiliki infrastruktur pendukung seperti dermaga dan jalan angkut sepanjang 12 km. BCR akan membangun dermaga dan jalan angkut baru untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Dengan jarak angkut yang pendek 12-17 km dari pit pertambangan ke dermaga dan rasio pengupasan yang rendah, biaya produksi BSPC dan PMC cukup rendah, sehingga memberikan margin yang besar pada harga jual batubara saat ini.
Karena akuisisi tersebut merupakan transaksi material, IATA harus memenuhi semua aturan yang dipersyaratkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), dan peraturan terkait lainnya, terutama untuk mengalihkan izin usaha penerbangan IATA ke anak perusahaan baru. IATA akan membiayai akuisisi tersebut melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dan seluruh proses transaksi akan selesai pada semester I/2022.
Untuk mendapatkan momentum dari kenaikan harga batubara, eksplorasi pertambangan lebih lanjut akan dilakukan untuk menemukan lebih banyak sumber daya dan cadangan batu bara baru, terutama di PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE) yang diyakini memiliki cadangan batubara yang melimpah.
Popularitas industri batu bara nasional diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan lonjakan harga batubara, yang didorong oleh pemulihan ekonomi dunia termasuk China, India, Korea Selatan, serta Eropa yang mengarah pada peningkatan produksi industri sehingga meningkatkan permintaan energi. Di sisi lain, penolakan China terhadap batu bara Australia juga turut memberikan sentimen positif terhadap permintaan ekspor batubara Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor pertambangan di Indonesia meningkat menjadi Rp211.890 miliar pada kuartal III/2021 dari Rp203.356 miliar pada kuartal II/2021. Dalam jangka panjang, PDB Indonesia dari pertambangan diproyeksikan akan mencapai sekitar Rp217.170 miliar pada 2022 dan Rp230.200 miliar pada 2023.
Dengan cadangan batu bara yang masih bertahan hingga 65 tahun, Indonesia merupakan salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia. Pada saat yang sama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih membutuhkan energi murah untuk pembangunan dan konsumsi.
Kontribusi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara terus mendominasi, mencapai 50,4 persen atau 31.827 megawatt (MW) dari total produksi listrik nasional.
Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Ido Hutabarat memprediksi batubara akan tetap menjadi sumber energi utama di Indonesia hingga 30 tahun ke depan. Sentimen yang sama diungkapkan dalam COP26 yang baru-baru ini berakhir, dengan China dan India yang menyatakan kekhawatiran perkembangan atas energi terbarukan sebagai pengganti batu bara baik kendala biaya maupun teknologi masih membutuhkan lebih banyak waktu untuk diselesaikan.
Energi terbarukan tidak cukup untuk menggerakkan pembangunan di masa mendatang. Karenanya, kata-kata dalam COP26 adalah penurunan bertahap bukan penghentian bertahap untuk mengakomodasi pemetaan produksi energi dunia saat ini.
Editor: Jujuk Ernawati