Ditanya DPR Soal Tarif Tiket, 3 Maskapai Ini Punya Jawaban Berbeda
JAKARTA, iNews.id - Masyarakat sempat mempertanyakan tarif tiket pesawat maskapai dalam negeri seperti Garuda Indonesia dan Lion Air yang naik signifikan beberapa waktu terakhir. Sementara maskapai luar negeri seperti AirAsia tarif tiketnya stabil.
Hal ini pun ditanyakan oleh Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat kerja hari ini. Masing-masing maskapai memaparkan alasan yang berbeda dalam penetapan tarif tiketnya.
Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah mengakui, selama 2017-2018 perusahaan telah menanggung kerugian hingga Rp5 triliun. Hal ini membuat manajemen menghitung ulang struktur biaya operasionalnya.
"Jadi setelah kita melihat memang, struktur biaya kita sudah tidak bisa lagi di-cover dengan harga yang kita lempar di pasar," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Meski perusahaan milik negara, namun Garuda sebagai perusahaan terbuka tentu berupaya untuk mencari cara agar perusahaan mendapatkan keuntungan. Hal ini agar perseroan berumur panjang.
"Jadi itulah yang jadi dasar daripada penetapan (harga) ini. Bagaimana agar kita bisa untung hanya Rp1 saja artinya break even point bagaimana keuntungannya," ucapnya.
Sementara Lion Air memiliki perhitungan yang berbeda. Managing Director of Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro Adi mengatakan, selama ini pihaknya memperhitungkan komponen operasi yang menjadi alasan untuk menetapkan tarif.
Dalam struktur biaya operasionalnya dimasukkan juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN), asuransi Jasa Raharja, dan pajak bandara. Belum lagi biaya perawatan pesawat.
"Soal tiket penumpang pesawat, dari yang sudah disampaikan masih sesuai dengan komponen keuangan di dalam Peraturan Menteri Nomor 106 tahun 2019," kata dia.
Kenaikan tiket pesawat dimulai sejak dolar AS memberatkan industri penerbangan. Pasalnya, telah melebihi save margin atau angka yang paling aman dari yang ditetapkan maskapai.
"Save margin kita waktu itu di angka Rp11.000. Tapi sejak menyentuh Rp13.000-15.000 dan seluruh komponen yang terkait dengan cost pemakaian yang memakai mata uang asing masih 50 persen," ujarnya.
Sementara itu maskapai asal Malaysia, AirAsia, ternyata selama ini juga menanggung kerugian. Untuk tahun 2018 saja kerugian perusahaan tersebut sebesar Rp1 triliun.
Head of Global Affairs and Policy AirAsia Indonesia Eddy Krismeidi mengatakan, meski merugi pihaknya berkomitmen tetap menerapkan jargonnya 'Now Everyone Can Fly' dengan menetapkan tarif tiket murah.
"Karena prinsipal kami dari Malaysia juga menetapkan itu. Jadi sistem structure cost yang kita terapkan di Indonesia dari 2018 sampai sekarang tidak melakukan perubahan," kata dia.
Kendati demikian, kini AirAsia perlahan menekan kerugiannya hingga pada kuartal I 2019 hanya Rp3 triliun dari Rp75 miliar di kuartal II 2018.
"Mudah-mudahan kuartal ini bisa lebih baik tapi prinsip yang kita pegang ya itu tadi, now everyone can fly tetap kita pegang. Sehingga tiket segala macam tetap," tutur dia.
Editor: Ranto Rajagukguk