Ekspor Teh Dihambat, Kemendag Terbang ke Eropa
JAKARTA, iNews.id - Pemerintah Indonesia bersama pemangku kepentingan komoditas teh Indonesia melaksanakan misi advokasi bertajuk Indonesia Tea Trade Mission (ITTM) ke Eropa. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi hambatan ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa.
"Misi advokasi teh ini diharapkan dapat meminimalisasi hambatan ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa, sehngga ekspor produk teh Indonesia di kawasan ini kembali berjaya," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/12/2017).
Secara umum, kinerja ekspor teh Indonesia sedang mengalami perlambatan. Hal ini ditandai dengan pangsa ekspor yang menurun. Harga teh Indonesia yang rendah, dan kebijakan impor yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor.
Sementara itu, volume dan nilai ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa rata-rata menurun sebesar 20 persen dalam lima tahun terakhir. Penurunan ini disebabkan oleh Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146 Tahun 2014 yang diterbitkan Uni Eropa pada 23 Oktober 2014 dan berlaku mulai 18 Mei 2015. Kebijakan impor tersebut menghambat ekspor teh Indonesia ke kawasan Uni Eropa serta berdampak pada menurunnya volume dan nilai ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa.
Regulasi tersebut mempersyaratkan ambang batas residu anthraquinone (AQ) dalam daun teh kering sebesar 0.02 mg per kg dengan alasan melindungi konsumen teh dari bahaya penyakit yang bersifat karsinogenik. Penetapan ini berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
Pemerintah Indonesia melihat penentuan ambang batas AQ tersebut hanya ditentukan secara otomatis dengan menggunakan batas terendah dari suatu metode analisis untuk penetapan kadar. Penentuan ambang batas tersebut juga tidak berdasarkan analisis resiko karena tidak ditemukannya dokumen analisis resiko untuk AQ yang dilakukan Europan Food Safety Authority.
Untuk itulah pemerintah mengadakan misi advokasi yang dipimpin Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati. Dengan salah satu misinya berkunjung dan berkonsultasi ke Directorate General for Health and Food Safety (DG SANTE) Komisi Eropa di Brussel, Belgia. Dalam kunjungan kerja ini, delegasi Indonesia akan mempresentasikan bukti saintifik yang merupakan hasil studi ilmiah Pusat Pengujian Mutu Barang Kementerian Perdagangan bersama peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hasil studi menunjukkan bahwa ambang batas residu (AQ) yang dapat ditolerir manusia adalah 0,2 mg per kg dengan mempertimbangkan analisis risiko, lebih longgar dari yang ditetapkan Komisi Eropa. “Pemerintah Indonesia telah berhasil menyelesaikan riset ilmiah yang membuktikan bahwa ambang batas residu AQ daun teh kering sebesar 0,02 mg per kg dalam Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146 Tahun 2014 terlalu ketat,” ucap Oke.
Selain kunjungan, Delegasi Indonesia juga akan melakukan networking dan tukar pandang dalam bentuk focus group discussion dengan International Tea Committee, pengemas teh, pedagang ritel teh, dan pengelola toko teh premium (tea specialty) di London. Menurut Oke, agenda ini merupakan upaya meningkatkan pangsa pasar produk teh Indonesia dan menjadi kesempatan untuk menjajaki selera konsumen teh di Eropa.
Indonesia masuk dalam 10 negara produsen teh terbesar di dunia. Di Indonesia, teh merupakan pendukung ekonomi dan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Saat ini teh diproduksi oleh badan usaha milik negara, perusahaan swasta, dan petani kecil. Sekitar 44,4 persen dari luas area perkebunan teh di Indonesia adalah perkebunan rakyat. Setidaknya 500.000 orang bergantung secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ini.
Berdasarkan data International Tea Committee, konsumsi teh secara global tahun 2010 melonjak 60 persen dibanding tahun 1993. Pertumbuhan signifikan komoditas ini diprediksi akan terus berlangsung karena masyarakat dunia semakin menyadari khasiat teh untuk kesehatan.
Editor: Ranto Rajagukguk