Kaleidoskop 2022: Deretan Kebijakan Pemerintah Menjaga Inflasi dan Perekonomian di Tengah Ancaman Resesi Global
JAKARTA, iNews.id - Perekonomian dunia memasuki babak baru di tahun 2022. Pemulihan ekonomi global akibat dampak pandemi Covid-19 yang semakin melandai, terguncang oleh perang Rusia-Ukraina yang mencuat sejak Februari 2022.
Invasi Rusia ke Ukraina itu tidak hanya memicu bencana kemanusiaan tetapi juga mengakibatkan perlambatan ekonomi global secara signifikan sepanjang 2022.
Perang yang hingga kini masih memanas itu memperburuk lonjakan harga komoditas energi dan pangan negara-negara diseluruh dunia. Hal itu lantaran, Rusia dan Ukraina termasuk negara pengekspor komoditas gandum terbesar.
Berdasarkan data Bank Dunia, keduanya menyumbang 29 persen dari ekspor gandum global. Di sektor energi, Rusia merupakan eksportir gas alam terbesar di dunia yang menyumbang kontribusi signifikan dalam ekspor batu bara dan minyak mentah secara global.
Oleh sebab itu, jika ketegangan Rusia dan Ukraina berlanjut, maka akan berkontribusi sangat besar terhadap kenaikan harga gandum hingga gas alam.
Kenaikan harga energi dan pangan juga membuat terjadinya lonjakan inflasi di seluruh negara. Terutama negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris dan Jepang. Hal itu kemudian membuat para pemangku kebijakan masing-masing negara turun tangan.
Dari sisi moneter, banyak bank sentral yang mengerek suku bunga acuan guna mengendalikan inflasi. Terbaru, Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis pon menjadi 4,25 persen hingga 4,5 persen pada 16 Desember 2022.
Kenaikan suku bunga ini merupakan level tertinggi dalam 15 tahun terakhir dan menunjukkan bahwa perlawanan bank sentral untuk meredamlaju inflasi masih jauh dari kata rampung.
Lalu bagaimana Pemerintah Indonesia menjaga inflasi dan menggenjot perekonomian di tengah resesi ancaman resesi global?
Berikut rangkuman deretan kebijakan Pemerintah Indonesia menjaga inflasi dan perekonomian dalam negeri di tengah ancaman resesi global yang dirangkum iNews.id dari berbagai sumber:
Sejalan dengan The Fed, tahun ini Bank Indonesia (BI) juga telah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps menjadi 5,5 persen. Kenaikan sebesar 200 bps hanya dalam kurun waktu 5 bulan (Agustus-Desember) merupakan langkah paling agresif yang dilakukan BI sejak 2005 atau dalam 17 tahun terakhir.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan kenaikan suku bunga acuan ini ditujukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang kini masih tinggi. Selain itu demi memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1 persen lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023.
Kebijakan ini juga ditujukan demi memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya. Sebab, saat ini mata uang dolar AS terus menguat dan ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
"Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur tersebut sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3,0±1 persen," ujar Perry saat mengumumkan hasil rapat dewan gubernur bulanan, Kamis (22/12/2022).
Perry menegaskan, bauran kebijakan moneter yang ditempuh BI saat ini menyasar untuk menciptakan stabilitas serta mengendalikan inflasi yang berasal dari barang impor yang memang tergantung permintaan.
"Dan stabilkan pasar keuangan, perbankan, dan korporasi melalui transaksi spot DNDF maupun operasi SBN sekunder," ungkap Gubernur BI.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada November 2022 terjadi inflasi 5,42 persen year on year (yoy) dengan Indeks Harga Konsumen sebesar 112,85. Realisasi inflasi itu menurun dibandingkan inflasi Oktober 2022 yang tercatat 5,71 persen.
Tidak hanya dari sisi moneter, dari sisi fiskal pemerintah juga telah mengeluarkan sederet kebijakan untuk menekan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Salah satu kebijakan fiskal yang menonjol adalah bantakan sosial yang diberikan kepala masyarakat terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diberlakukan pada 1 September 2022.
Sesuai arahan Presiden RI Jokowi Widodo (Jokowi), ada tiga jenis bantalan sosial dengan total anggaran sebesar Rp24,17 triliun yang diberikan, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan penggunaan 2 persen Dana Transfer Umum (DTU) oleh Pemerintah Daerah untuk membantu sektor transportasi seperti angkutan umum, ojek, bahkan nelayan, serta memberikan perlinsos tambahan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto, mengatakan pemberian berbagai bantalan sosial ini diharapkan dapat melindungi daya beli masyarakat dari tekanan kenaikan harga global dan juga mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
"Selain itu, kami terus memonitor pergerakan harga komoditas pangan agar dapat segera melakukan antisipasi apabila terjadi lonjakan harga, serta menjaga rantai pasok terutama komoditas pangan,” ujar Menko Airlangga beberapa waktu lalu.
Dia memastikan, pemerintah pusat melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPIP) terus memperkuat koordinasi maupun sinergi program kebijakan untuk stabilisasi harga, terutama pasca penyesuaian BBM.
Selain itu, dilakukan juga perluasan Kerja Sama Antardaerah (KAD), terutama untuk daerah surplus/defisit dalam menjaga ketersediaan suplai komoditas.
Upaya lain yang yakni melalui penambahan frekuensi pelaksanaan Operasi Pasar, termasuk peningkatan program Ketersediaan Pangan dan Stabilitas Harga (KPSH) untuk segera menstabilkan harga beras.
Sebelumnya, Airlangga juga mengatakan bahwa kerja sama dengan pelaku digital pertanian juga akan diperluas untuk menambah produktivitas maupun pemanfaatan teknologi untuk memperlancar distribusi.
Pemerintah pun mempercepat implementasi program tanam pangan pekarangan, misalnya cabai untuk mengantisipasi tingginya permintaan di akhir tahun. Dalam jangka menengah juga akan mengembangkan program closed loop dalam hilirisasi produk hortikultura.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengungkapkan pengendalian inflasi yang cukup baik di Agustus 2022 lalu tak terlepas dari extra effort yang dilakukan masing-masing daerah, jadi kita terima kasih kepada semua TPID.
"Mereka mulai menanam tanaman pekarangan, melakukan Operasi Pasar dengan dana mereka sendiri, dan mendorong pemanfaatan platform digital,” ujar Iskandar.
Sarana dan prasarana penyimpanan produk hasil panen khususnya di daerah sentra produksi juga akan terus diperbanyak dan diperkuat agar umur simpan lebih panjang, maupun di daerah konsumen untuk menjaga kecukupan pasokan lebih lama.
Selain itu, juga akan diperkuat sinergi TPIP-TPID melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) untuk mempercepat stabilisasi harga.
“Oleh karena itu, kami optimistis apabila tekanan inflasi akan menurun, dan dapat ditekan di bawah 5% sampai akhir tahun nanti,” ungkap Iskandar.
3. Kinerja Pertumbuhan Ekonomi
Di tengah upaya pemerintah mengendalikan inflasi, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menunjukkan pemulihan. Pada triwulan III 2022 ini juga masih tumbuh 5,72 persen secara tahunan (year on year/yoy). Capaian ini tumbuh 1,81 persen jika dibandingkan triwulan sebelumnya.
Adapun target pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 mencapai 5,3 persen (year on year).
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kinerja perekonomian hingga kuartal III 2022 terus mengalami pemulihan pasca pandemi Covid-19.
Meski demikian, Menkeu mengakui pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2022 diperkirakan akan sedikit mengalami moderasi, karena mempertimbangkan siklus perekonomian yang biasanya melambat di akhir tahun.
"Secara keseluruhan tahun 2022, Kementerian Keuangan memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5 persen-5,3 persen," ujar Sri Mulyani.
Menurut dia, optimisme pertumbuhan ekonomi tercermin dari kinerja perekonomian di kuartal III 2022. Dari dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh sebesar 5,4 persen (yoy), sejalan dengan rata-rata indeks penjualan riil yang tumbuh 5,5 persen (yoy).
Meskipun, konsumsi pemerintah secara tahunan tercatat memang terkontraksi sebesar 2,9 persen (yoy), namun jika dibandingkan dengan kuartal II 2022 tercatat tumbuh 11,7 persen (qtq).
Investasi atau pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) tercatat tumbuh 5 persen, sejalan dengan meningkatnya aktifitas ekonomi nasional dan membaiknya keyakinan pelaku usaha.
Di tengah tren melambatnya perekonomian global, kinerja ekspor tercatat secara riil tumbuh 21,6 persen (yoy) di kuartal III 2022, sementara impor tumbuh 23 persen (yoy).

Dari sisi lapangan usaha, sektor manufaktur tercatat tumbuh sebesar 4,8 persen (yoy) pada kuartal III 2022. Lalu sektor terkait hilirisasi sumber daya alam tumbuh 20,2 persen (yoy).
Sementara industri tekstil dan pakaian jadi serta sektor alas kaki dan barang dari kulit tercatat tetap tumbuh mengalami pertumbuhan dengan masing-masing sebesar 8,1 persen (yoy) dan 13,4 persen (yoy).
"Jadi kalau pemerintah optimis, itu karena memang ada landasan objektifnya, yakni berbagai indikator ekonomi makro yang terus menguat, implementasi berbagai kebijakan yang cukup efektif untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, pengelolaan APBN yang pruden, responsif dan efektif," tutur Sri Mulyani.
Dia mengungkapkan, intervensi kebijakan pemerintah dilakukan baik dari sisi suplai melalui berbagai insentif fiskal dan dukungan pembiayaan.
Selain itu, pemerintah juga bersinergi dengan otoritas moneter dan sektor keuangan, maupun dari sisi demand untuk mendukung daya beli masyarakat baik dalam bentuk berbagai program bansos, subsidi maupun pengendalian inflasi.
Menkeu menambahkan, meningkatnya risiko ketidakpastian global perlu diwaspdai. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur global sudah mulai berada pada zona kontraksi dalam dua bulan terakhir.
Kemudian tekanan inflasi global yang berkepanjangan, khususnya di kawasan Eropa dan Amerika Serikat, akan memicu pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif yang berpotensi menimbulkan guncangan di pasar keuangan, khususnya di negara berkembang.
Selain itu, aliran modal ke luar pun meningkat dan menimbulkan tekanan besar pada nilai tukar lokal sebagaimana yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.
"Di tengah optimisme pemulihan yang terus berjalan, meningkatnya risiko ketidakpastian serta melemahnya prospek pertumbuhan global akibat konflik geopolitik perlu terus diantisipasi," kata Sri Mulyani.
Editor: Jeanny Aipassa