Mengenal Abenomics, Warisan Shinzo Abe untuk Bangkitkan Ekonomi Jepang
Secara umum, Abe sempat berhasil dalam membalikkan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu. Selama masa jabatannya, pertumbuhan ekonomi Jepang meningkat dari kelesuan pada 1990-an dan 2000-an, ekspor meningkat, dan pengangguran turun ke level terendah dalam beberapa dekade.
Pada 2015 hingga 2017, Jepang mencatat pertumbuhan positif delapan kuartal berturut-turut. Ini merupakan rekor terpanjang dalam hampir 30 tahun.
Namun dibandingkan dengan dekade ekspansi yang memabukkan setelah Perang Dunia II dan kinerja banyak negara sejenis, ekonomi Jepang kurang mengesankan. Selama hampir delapan tahun jabatan kedua Abe sebagai PM Jepang, menurut analisis ekonom Kaya Keiichi, Covid-19 menggelincirkan ekonomi, dengan pertumbuhan PDB riil rata-rata hanya 0,9 persen.
Target ambisius Abe untuk meningkatkan PDB nominal menjadi 600 triliun yen pada 2020 juga tidak pernah terwujud dan belum terpenuhi hingga hari ini. Selain itu, inflasi dan pertumbuhan upah di bawah ekspektasi, sehingga menghambat pencapaian target ekonomi.
"Dalam hal ini, perbaikan ekonomi riil terbatas. Namun, saya pikir itu setengah sukses karena melindungi ekonomi Jepang dari penurunan tajam," ujar ekonom senior untuk Korea Selatan dan Jepang di ING, Min Joo Kang.
Di saat penerus langsung dan sekutu Abe, Yoshihide Suga berjanji untuk melanjutkan Abenomics, Perdana Menteri saat ini Fumio Kishida justru berusaha menjauhkan diri dari strategi tersebut. Dia malah menggembar-gemborkan sebuah kapitalisme baru yang lebih menyesuaikan diri dengan kesenjangan antara kaya dan miskin.
Bulan lalu, Abe menyebut idiot sebuah makalah kebijakan ekonomi yang disusun oleh para politisi di Partai Demokrat Liberal, setelah mantan pemimpin itu menganggap proposal tersebut kritis terhadap kebijakan ekonomi khasnya.
Sementara itu, analis pasar senior untuk Asia Pasifik di OANDA Jeffrey Halley mengatakan, Abenomics telah memberikan hasil yang beragam.
"Kurangnya keinginan untuk menerapkan panah ketiga reformasi ekonomi dan perdagangan, ketika Jepang kembali ke jalan yang mengakar, berarti panah-panah lainnya hanya benar-benar berhasil menjaga lampu tetap menyala sepanjang tahun 2010-an," ucap Halley.
"Kurangnya kemajuan bukan karena Abe salah secara strategis, melainkan kegagalannya untuk mengatasi kepentingan domestik yang mengakar dan kelambanan pemerintah untuk sepenuhnya merangkul dan mengeksekusi semua panah," imbuh dia.
Editor: Jujuk Ernawati