Menteri PPN: Ekonomi Indonesia Beda dengan Turki
JAKARTA, iNews.id – Pemerintah terus memantau dampak krisis keuangan Turki ke Indonesia. Kendati demikian, ekonomi Indonesia dinilai berbeda dengan Turki meski sama-sama masuk dalam kategori negara emerging market.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan, krisis yang terjadi di Turki memang berdampak pada rupiah karena investor menganggap Turki dan Indonesia sama-sama negara emerging market.
"Jadi di tahap awal ada konsolidasi dari investor melihat emerging market, konsolidasi ini akan pengaruhi nilai tukar rupiah. Yang penting kita lihat beberapa hari ke depan apakah tren rupiah akan membaik kembali dan kemudian orang larinya hanya pada Turki atau kita dianggap sama dengan Turki," katanya di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Bambang mengatakan, pemerintah akan memberikan persepsi kepada investor bahwa Indonesia berbeda dengan Turki. Salah satunya soal independensi bank sentral.
“Perkiraan saya, kita dianggap beda karena kita punya independensi bank sentral," ucapnya.
Faktor lainnya, kata Mantan Menteri Keuangan itu, yaitu tingkat inflasi. Inflasi Turki pada Juli 2018 secara year-on-year mencapai 15,85 persen sementara Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode yang sama tercatat 3,18 persen.
"Kita juga inflasi lebih baik. Turki inflasi double digit, sedangkan kita inflasi cuma sekitar 3 sampai 4 persen ini buat perbedaan yang luar biasa." ujarnya.
Menurut Bambang, perbedaan situasi ini membuat dirinya yakin investor akan melirik Indonesia sebagai tujuan investasi yang aman. Dia juga menyebut, kurs rupiah yang sempat menembus level Rp14.600 per dolar AS tidak akan memengaruhi upaya pemerintah menurunkan angka kemiskinan.
"Kemiskinan akan tetap turun, jadi tahun ini diperkirakan bisa di 9,5 persen,” ujarnya.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem. Johny G. Plate mengatakan ekonomi Indonesia tidak dapat disamakan dengan ekonomi Turki.
"Terkait masalah turki, makro ekonomi Turki dan Indonesia pasti beda. Tata kelola utang luar negeri Indonesia dan Turki beda," katanya di Menteng Jakarta, Senin (13/8/2018).
Dia menegaskan, pemerintah terus berkomitmen menurunkan defisit anggaran supaya utang bisa melambat. Selama ini, defisit anggaran selalu di bawah batas ketentuan 3 persen terhadap PDB.
"Bahkan APBN 2018 defisit anggaran kita hanya 2,12 persen dari GDP dan APBN 2019 dalam rencana di bawah 2 persen, 1,8 persen. Akumulasi utang sekitar 30 persen dari GDP jauh berbeda dari turki," latanya.
Selain itu, kata dia, Turki saat ini juga sedang dalam tekanan AS karena pemerintah Amerika menggandakan tarif impor baja dan aluminium khusus untuk Turki masing-masing 20 persen dan 40 persen. Dia pun optimistis pemerintah bisa mengantisipasi krisis keuangan yang terjadi di Turki dengan baik.
"Saat ini tentu otoritas fiskal, makro, BI dan mikro OJK sudah dan tengah mengambil langkah kebijakan untuk memastikan makro ekonomi indonesia terjaga dengan baik," katanya.
Editor: Rahmat Fiansyah