Sri Mulyani Waspadai Inflasi hingga Krisis Pangan dalam Penyusunan APBN 2023
JAKARTA, iNews.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa penyusunan APBN 2023 tahun depan diperlukan proses yang cukup panjang. Salah satunya terkait pembahasan di dalam sidang kabinet untuk menetapkan postur dan indikasi dari pagu setiap Kementerian/Lembaga.
"Hari ini, kami di kabinet membahas kerangka ekonomi makronya, yakni proyeksi ekonomi tahun depan dan arah kebijakan fiskalnya, serta indikasi dari pagu yang akan dilakukan," ujar Sri Mulyani dalam keterangan pers virtual di Jakarta, Kamis (14/4/2022).
Sri Mulyani menambahkan, kenaikan komoditas dan inflasi yang tinggi menyebabkan pengetatan kebijakan moneter baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga yang kemudian menimbulkan potensi volatilitas arus modal dan nilai tukar, serta tekanan pada sektor keuangan. Hal-hal tersebut dinilainya akan menghasilkan pemulihan ekonomi yang melemah secara global.
"Berdasarkan proyeksi berbagai lembaga, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah 1 persen, yang tadinya diprediksi 4,5 persen menjadi hanya 3,5 persen. Bank Dunia juga merevisi dari angka 4,4 persen ke 3,5 persen, kemudian WTO meramalkan pertumbuhan ekonomi akan melemah dari 4,4 persen ke 3,1 hingga 3,7 persen," kata dia.
Sementara itu, Sri Mulyani menyebut dari sisi inflasi justru akan mengalami kenaikan. Bank Dunia memperkirakan inflasi di negara-negara advanced akan naik dari 3,9 persen ke 5,7 persen, sedangkan di negara-negara emerging akan mengalami tekanan inflasi dari 5,9 persen ke 8,6 persen.
"Kondisi ini tentu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit. Di berbagai belahan dunia, sudah mengalami tekanan atau bahkan krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas, seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana mereka mengimpor 80 persen makanan atau gandum dari Rusia dan Ukraina, dan sekarang mereka menghadapi situasi tekanan terhadap suplai makanannya. Ini terjadi setelah 2,5 tahun mengalami pandemi," ucap Sri Mulyani.
Kemudian, Sri Mulyani melaporkan bahwa kondisi tahun 2023 diharapkan akan ditandai dengan pandemi COVID-19 yang mulai menurun dan kemudian masuk pada periode endemi, sehingga ini akan menjadi hal yang diharapkan akan mengurangi beban dan tekanan terhadap masyarakat dan perekonomian.
"Namun, tahun depan akan muncul suatu risiko baru dari sisi munculnya perang di Ukraina dan ketegangan geopolitik yang telah menyebabkan kenaikan harga-harga komoditas dan mendorong inflasi tinggi di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang saat ini merupakan negara maju," tuturnya.
Editor: Aditya Pratama