Jakarta Melawan Macet: dari Bang Ali Sadikin hingga Era JakLingko
JAKARTA, iNews.id — Kemacetan di Jakarta sudah lama menjadi masalah akut. Tak hanya menyita waktu, kemacetan juga menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar: mencapai Rp 100 triliun per tahun, menurut beberapa sumber. Mayoritas kerugian itu berasal dari dampak polusi dan waktu produktif yang terbuang di jalanan.
Tak heran, setiap calon gubernur Jakarta selalu menjadikan isu kemacetan sebagai janji kampanye. Tapi sejak kapan Jakarta mulai dililit macet, dan apa saja strategi yang sudah dilakukan para gubernurnya?
Ali Sadikin adalah gubernur pertama yang secara serius membangun infrastruktur lalu lintas. Ia memperluas jaringan jalan, membangun jalan layang, dan merintis terminal seperti Blok M dan Pulogadung. Meski belum ada transportasi massal modern, Bang Ali memperkenalkan sistem bus kota dan mulai membatasi kendaraan pribadi.
Gubernur Tjokropranolo (1977–1982) meneruskan pembangunan jalan dan sistem bus untuk menekan penggunaan mobil pribadi. Penerusnya, R. Soeprapto (1982–1987), mulai menggunakan teknologi dalam pengaturan lalu lintas dan menambah jumlah armada bus kota.
Di akhir 1980-an, Wiyogo memperkenalkan cikal bakal sistem ganjil-genap serta membangun jalan alternatif guna mengurangi kepadatan di pusat kota.
Gubernur Soerjadi mulai merintis sistem transportasi berbasis rel, yang kemudian menjadi dasar bagi proyek MRT dan LRT. Ia juga terus memperluas jaringan jalan dan layanan angkutan umum.
Sutiyoso atau Bang Yos (1997–2007) menandai perubahan signifikan. Ia membangun koridor pertama TransJakarta (2004), sistem BRT pertama di Asia Tenggara. Ia juga meluncurkan proyek monorail (yang kemudian mangkrak), serta uji coba jalur air (waterway) yang akhirnya dihentikan karena minim peminat.
Fauzi Bowo alias Foke melanjutkan ekspansi TransJakarta hingga lebih dari 10 koridor dan memulai studi MRT bersama pemerintah Jepang. Di eranya pula, proyek monorail resmi dihentikan.