Film Merah Putih One For All: Biaya Produksi Rp6,7 Miliar dan Banjir Kritik Netizen
JAKARTA, iNews.id - Film Merah Putih One For All menjadi perbincangan hangat menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025. Film animasi bertema nasionalisme ini, yang dijadwalkan tayang di bioskop pada 14 Agustus 2025, diharapkan mampu menggugah semangat patriotisme melalui kisah heroik delapan anak dari berbagai latar budaya di Indonesia.
Namun, alih-alih menuai pujian, Film Merah Putih One For All justru menjadi sasaran kritik pedas netizen, terutama karena biaya produksi yang mencapai Rp6,7 miliar dinilai tidak sebanding dengan kualitas yang ditampilkan dalam trailer.
Film Merah Putih One For All diproduksi oleh Perfiki Kreasindo dengan durasi 70 menit. Film ini disutradarai oleh Endiarto dan Bintang, dengan Toto Soegriwo sebagai produser. Ceritanya berfokus pada petualangan “Tim Merah Putih,” sekelompok anak dari berbagai daerah di Indonesia yang bersatu untuk mencari bendera pusaka yang hilang misterius menjelang upacara 17 Agustus.
Dengan latar desa yang tenang, film ini mengusung tema persatuan, keberagaman, dan cinta tanah air, yang diharapkan dapat menginspirasi generasi muda. Meski memiliki premis yang menarik, eksekusi teknis dan visual film ini menjadi sorotan utama netizen.
Salah satu aspek yang membuat Film Merah Putih One For All ramai diperbincangkan adalah biaya produksinya yang fantastis, yaitu Rp6,7 miliar, seperti yang diungkap oleh Produser Eksekutif Sonny Pudjisasono. Angka ini mengejutkan publik, terutama karena proses produksi film ini hanya memakan waktu kurang dari dua bulan sejak Juni 2025. Untuk sebuah film animasi berdurasi 70 menit, anggaran sebesar ini dianggap tidak wajar oleh banyak pihak, terutama ketika kualitas visual yang ditampilkan dalam trailer dinilai jauh di bawah standar industri.
Menurut sutradara terkenal Hanung Bramantyo, anggaran Rp6,7 miliar hanya cukup untuk tahap previsualization (previs), yaitu storyboard berwarna yang bergerak sebagai panduan animator, bukan untuk menghasilkan film animasi layar lebar yang siap tayang.
Dalam komentarnya di media sosial, Hanung menyebutkan bahwa film animasi berkualitas biasanya membutuhkan anggaran minimal Rp30-40 miliar dan waktu produksi 4-5 tahun. Pernyataan ini memicu spekulasi bahwa Film Merah Putih One For All mungkin tidak dikerjakan dengan proses kreatif yang matang, melainkan terburu-buru untuk memenuhi tenggat perayaan Hari Kemerdekaan.
Selain itu, netizen juga menyoroti dugaan penggunaan aset animasi murah dari platform seperti Daz3D. Seorang YouTuber, Yono Jambul, mengungkap bahwa beberapa adegan dalam trailer tampak menggunakan aset seperti “Street of Mumbai” yang dibeli dengan harga belasan dolar.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: ke mana larinya anggaran Rp6,7 miliar jika aset visual yang digunakan tergolong murah dan tidak orisinal? Tuduhan seperti “proyek cuci anggaran” pun mulai bermunculan di media sosial, memperburuk persepsi publik terhadap film ini.
Sejak trailer Film Merah Putih One For All dirilis di berbagai platform seperti YouTube Perfiki TV, CGV Kreasi, dan Historika Film, gelombang kritik langsung membanjiri media sosial. Netizen menilai kualitas animasi film ini kaku, dengan detail karakter yang kurang halus, pencahayaan sederhana, dan ekspresi gerakan yang tidak natural. Banyak yang membandingkannya dengan film animasi lokal lain seperti Jumbo, yang berhasil menembus 10 juta penonton dan menetapkan standar tinggi untuk animasi Indonesia.
Beberapa warganet bahkan menyebut film ini sebagai “aib negara” atau “film gorengan” karena dianggap gagal merepresentasikan semangat nasionalisme dengan baik. Akun X seperti @syahiduzzxxx menyindir film ini sebagai “metafora nasionalisme setengah matang,” sementara @68Axx menduga bahwa kualitas buruk film ini sengaja dibuat untuk pengalihan isu.
Tagar seperti “Proyek Cuci Anggaran” dan “Malu-maluin” pun ramai digunakan, mencerminkan kekecewaan publik terhadap proyek yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional.
Di tengah hujan kritik, produser Toto Soegriwo memberikan tanggapan yang dianggap kurang memadai oleh netizen. Melalui akun Instagram pribadinya, ia hanya menulis, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan? Postingan kalian jadi viral kan?” Pernyataan ini justru memicu reaksi negatif lebih lanjut, dengan netizen menilai Toto bersikap denial dan tidak serius menanggapi kritik konstruktif. Beberapa bahkan meminta film ini ditarik dari peredaran agar tidak “memalukan” industri animasi Indonesia.
Selain itu, judul Film Merah Putih One For All juga menjadi bahan kritikan. Banyak netizen mempertanyakan penggunaan frasa berbahasa Inggris “One For All” dalam film yang mengusung tema nasionalisme. Menurut mereka, judul ini kurang mencerminkan identitas lokal dan terkesan asing untuk sebuah karya yang ingin mengedepankan semangat kebangsaan. Kontroversi ini menambah daftar panjang keluhan terhadap film tersebut.
Kontroversi Film Merah Putih One For All menimbulkan kekhawatiran bahwa citra animasi lokal akan tercoreng. Dengan standar yang telah ditinggikan oleh karya-karya seperti Jumbo dan Battle of Surabaya, publik kini memiliki ekspektasi tinggi terhadap produksi animasi Indonesia.
Sayangnya, film ini dinilai gagal memenuhi ekspektasi tersebut, baik dari segi kualitas maupun eksekusi. Banyak yang khawatir bahwa proyek yang terkesan “kejar tayang” seperti ini justru akan merusak kepercayaan penonton terhadap industri animasi tanah air.
Namun, di tengah kritik, ada pula suara yang tetap mendukung. Beberapa netizen berpendapat bahwa niat mulia film ini untuk menyampaikan pesan persatuan dan patriotisme patut diapresiasi, meski eksekusinya masih perlu banyak perbaikan. Mereka berharap ke depannya, pembuat film lokal dapat lebih fokus pada proses kreatif yang matang dan tidak terburu-buru demi memenuhi momen seremonial.
Kegaduhan seputar Film Merah Putih One For All menjadi cerminan bahwa publik kini semakin kritis terhadap karyawater: Film Merah Putih One For All telah memicu diskusi penting tentang kualitas, otentisitas, dan tanggung jawab dalam menciptakan karya seni yang membawa nama bangsa.
Editor: Komaruddin Bagja