Karya Sastra Legendaris Bumi Manusia Diangkat ke Layar Lebar
JAKARTA, iNews.id - Karya sastra Indonesia karangan sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia akan diangkat ke layar lebar. Film yang diangkat dari buku pertama dari Tetralogi Buru tersebut bakal digarap oleh sutradara Hanung Bramantyo.
Setelah sukses menyutradarai The Gift, Hanung Bramantyo langsung akan menggarap film yang dinantikan banyak orang tersebut. Penggarapan film Bumi Manusia tersebut dinaungi oleh rumah produksi Falcon Pictures.
"Di bulan Puasa ini, saya mendapatkan 2 hadiah terbaik dari Allah. Selain respon positif dari penonton #thegiftmovieid di hari pertama tayang, Novel Bumi Manusia siap menjalani prosesnya menuju Layar Lebar. Bismillah! Mohon doa restunya," kata Hanung Bramantyo, dikutip dari keterangan foto di Instagram-nya, Jumat (25/5/2018).
Dalam foto tersebut, tampak sutradara peraih penghargaan Festival Film Indonesia 2007 berfoto bersama para aktris dan aktor yang akan bermain dalam film Bumi Manusia. Salah satunya adalah aktor film Dilan, Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan.
Di film tersebut, Iqbaal digadang-gadang sebagai pemeran utama sebagai tokoh Minke yang populer dari karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Selain Iqbaal, Bumi Manusia juga dibintangi Mawar Eva sebagai Annelies dan Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh.
Menurut pantauan di akun Instagram Film Bumi Manusia (@filmbumimanusia), tampak foto Donny Damara dan Ayu Laksmi yang dikabarkan akan bermain sebagai Romod dan ibu dari tokoh Minke yang dibintangi mantan personel Coboy Junior tersebut.
Novel Bumi Manusia sendiri merupakan buku pertama dari Tetralogi Buru yang terdiri dari Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Tetralogi Buru ini mengungkapkan sejarah keterbentukan Nasionalisme pada awal Kebangkitan Nasional dan pengukuhan atas seorang yang bernama Tirto Adhi Soerjo yang digambarkan sebagai tokoh Minke.
Proses penciptaan buku-buku Tetralogi Buru tersebut terjadi saat keempat cerita tersebut dibacakan secara lisan kepada tahanan-tahanan lain semasa Pramoedya diasingkan di Pulau Buru pada 1965-1979. Setelah Pramoedya bebas, dia kemudian menerbitkannya ke bentuk novel yang kemudian dilarang peredarannya sesaat setelah diterbitkan.
Namun, setelah Orde Baru tumbang dan era pemerintahan berganti, buku-buku tersebut kembali dicetak ulang, serta dijual bebas di toko-toko buku besar.
Editor: Tuty Ocktaviany