Tari Bedhaya Ketawang: Sejarah, Makna, Pelaksanaan, dan Gerakan
JAKARTA, iNews.id - Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian tradisional asal Jawa Tengah. Tari ini hanya ditampilkan dalam acara penobatan serta peringatan kenaikan tahta raja di Kasunanan Surakarta.
Menurut legenda yang ada, tari Bedhaya Ketawang berkaitan erat dengan Raja Mataram dan Kanjeng Ratu Kidul. Adapun ulasan mengenai sejarah, makna, pelaksanaan, dan gerakan tari Bedhaya Ketawang yang patut disimak adalah sebagai berikut.
Dilansir dari situs Kemdikbud pada Selasa (27/12/2022), tari Bedhaya Ketawang telah ada semenjak masa Kesultanan Mataram pada tahun 1613-1645. Sultan Agung diyakini melatarbelakangi terciptanya tari tersebut.
Peristiwa itu bermula ketika sang sultan mendengar senandung dari langit saat melakukan semedi. Selesai bertapa, Sultan Agung pun memanggil keempat pengawalnya, Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap.
Sang sultan lalu menceritakan pada pengawalnya bahwa ia baru saja mendengar senandung yang membuatnya terkesima. Dari sanalah, tercipta sebuah tarian yang dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
Selain itu, terdapat versi lain dari sejarah terciptanya tari Bedhaya Ketawang. Versi yang dimaksud menjelaskan bahwa cikal bakal tarian tersebut bermula ketika Panembahan Senopati bertemu dan memadu kasih dengan Ratu Kencanasari alias Kanjeng Ratu Kidul dalam pertapaannya.
Lalu pada tahun 1755 setelah perjanjian Giyanti, Kesultanan Mataram membagi harta warisan kepada Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Pada waktu itu, tari Bedhaya Ketawang diberikan kepada Kasunanan Surakarta.
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang sangat sakral. Tarian ini merupakan penggambaran hubungan asmara Raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul dengan raja Mataram.
Syair dalam tembang juga disebut mengandung curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja. Saking sakralnya, masyarakat setempat percaya bahwa Kanjeng Ratu Kidul dipercaya akan hadir dalam setiap Tari Bedhaya Ketawang yang dipertunjukkan.
Tari Bedhaya Ketawang biasanya akan ditampilkan oleh sembilan penari. Seluruh penari memiliki nama dan fungsi masing-masing yang akan dipaparkan berikut ini.
Penari pertama: Batak yang melambangkan pikiran dan jiwa.
Penari kedua: Endhel Ajeg yang melambangkan keinginan hati atau nafsu.
Penari ketiga: Endhel Weton yang melambangkan tungkai kanan.
Penari keempat: Apit Ngarep yangmelambangkan lengan kanan
Penari kelima: Apit Mburi yang melambangkan lengan kiri.
Penari keenam: Apit Meneg yang melambangkan tungkai kiri.
Penari ketujuh: Gulu yang melambangkan badan.
Penari kedelapan: Dhada yang melambangkan badan.
Penari kesembilan: Buncit yang melambangkan organ seksual.
Sembilan penari tersebut akan mengenakan busana yang disebut Dodot Ageng atau Basahan. Rambut penari akan dikenakan gelung bokor mengkurep yang merupakan gelungan berukuran besar.
Selain itu, terdapat beberapa aksesoris berupa centhung, garuda mungkur, sisir jeram saajar, cunduk mentul, dan tiba dhadha yang akan dikenakan oleh penari. Sebelum ditampilkan, perlu dipastikan bahwa penari Bedhaya Ketawang merupakan seorang gadis yang suci atau tidak sedang menstruasi.
Apabila salah satu atau beberapa sedang dalam masa haid, maka penari tersebut harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan menjalani caos dahar atau puasa. Selama dipertontonkan, tarian ini akan diiringi perangkat gamelan yang membawakan lima jenis gending, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak.
Penari masuk berdasarkan urutan, yakni Endhel Ajeg, Batak, Endhel Weton, Apit Ngarep, Apit Mburi, Gulu, Apit Meneg, Dhada, lalu Buncit. Setelahnya, kesembilan penari tersebut akan membentuk gerakan kapang-kapang yang gemulai, dimana tangan akan berada disamping dan jari-jarinya membentuk posisi ngithing.
Gerakan dari tarian ini melambangkan kepribadian wanita Jawa yang lemah lembut dan santun. Maka dari itu, tarian ini akan terlihat sangat tenang dan khidmat.
Di bagian awal tarian, akan ada iringan tembang Durma lalu berganti ke Retnamulya. Saat hendak selesai dan seluruh penari kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, suara rebab, gender, gambang, dan suling akan ditambahkan.
Editor: Komaruddin Bagja